Tunis (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri Libya Baghdadi al-Mahmudi, yang ditangkap setelah melarikan diri ke Tunisia, melakukan aksi mogok makan untuk menuntut pembebasannya, kata pengacaranya, Mabrouk Kourchid, Kamis.

Mahmudi, yang menjadi PM hingga hari-hari terakhir rejim Muammar Gaddafi, ditangkap pekan lalu di perbatasan baratdaya Tunisia dengan Aljazair, lapor AFP.

Sebuah pengadilan Tunisia segera menjatuhkan hukuman penjara enam bulan pada Mahmudi setelah ia dinyatakan bersalah masuk ke negara itu secara ilegal, namun putusan tersebut dibatalkan Selasa oleh pengadilan tinggi setelah pengacaranya naik banding.

Rabu, penguasa baru Libya mengeluarkan surat panggilan terhadapnya.

Mahmudi "memulai mogok makan Rabu malam yang akan berlangsung hingga ia dibebaskan dan untuk memprotes surat panggilan terhadapnya yang dikeluarkan Tripoli", kata pengacaranya setelah bertemu kliennya di penjara di luar Tunis.

"Penahanannya yang berlanjut di penjara setelah tuduhan dibatalkan adalah ilegal, itu merupakan manuver yang dirancang untuk memungkinkan surat panggilan dikeluarkan," katanya.

"Tidak ada alasan hukum yang bisa membenarkan penahanan seorang pria sakit yang sudah dibebaskan," tambahnya.

Seorang juru bicara Kementerian Kehakiman Tunisia mengatakan, pihak berwenang mengeluarkan perintah penahanan terhadap Mahmudi "setelah menerima permintaan dari Interpol (agar ia ditahan) atas dasar pemanggilan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang Libya".

Penahanan itu bersifat sementara dan tidak boleh melampaui 30 hari, sambil menunggu permohonan ekstradisi, kata juru bicara itu.

Mahmudi adalah pejabat tinggi kedua Libya yang ditangkap di Tunisia sejak runtuhnya rejim Gaddafi, yang menjadi buronan setelah pemberontak menguasai Tripoli pada 23 Agustus.

Pada 7 September, Mayor Khuildi Hamidi, salah seorang pengikut Gaddafi, ditangkap di bandara internasional Tunis-Carthage ketika ia bersiap-siap naik pesawat tujuan Casablanca, Moroko.

Hamidi, yang mengambil bagian dalam kudeta Libya 1969 dan telah lama memimpin badan intelijen militer di negaranya, juga diadili krena memasuki Tunisia secara ilegal, namun dibebaskan. Pembebasannya ditangguhkan karena jaksa naik banding pada Kamis lalu.

Keberadaan Gaddafi hingga kini tidak diketahui secara jelas. Dari tempat persembunyiannya, ia berulang kali melontarkan janji-janji untuk melanjutkan perang, ketika semakin banyak negara mengakui Dewan Transisi Nasional (NTC) sebagai pemerintah yang berkuasa di Libya.

Dewan itu kini sedang dalam proses memindahkan pemerintah mereka ke Tripoli dari markas sebelumnya di Benghazi, setelah mencapai kemenangan-kemenangan atas pasukan Gaddafi.

NTC, yang mengatur permasalahan kawasan timur yang dikuasai pemberontak, sejauh ini melobi keras untuk pengakuan diplomatik dan perolehan dana untuk mempertahankan perjuangan berbulan-bulan dengan tujuan mendongkel pemimpin Libya Muammar Gaddafi.

Negara-negara besar yang dipelopori AS, Prancis dan Inggris membantu mengucilkan Gaddafi dan memutuskan pendanaan dan pemasokan senjata bagi pemerintahnya, sambil mendukung dewan pemberontak dengan tawaran-tawaran bantuan.

Kelompok pemberontak Libya kini telah memasuki Tripoli dan rejim Gaddafi telah dianggap jatuh oleh banyak kalangan.

Negara-negara yang telah mengakui NTC sebagai perwakilan sah rakyat Libya antara lain China, Rusia, Mesir, Chad, Turki, Uni Emirat Arab (UAE), Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Gambia, Italia, Yordania, Malta, Qatar, Senegal, Spanyol dan AS.

Gaddafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa. Gaddafi bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011