Jakarta (ANTARA News) - Ketika anak bangsa ini belum pulih dari kegalauan kapan hari lebaran? pada Rabu malam (31 Agustus 2011), kita dikagetkan dengan jebolnya pintu air Pabuaran di Kali Malang (Tarum Kanal Barat) yang memasok air baku air minum ke IPA (Instalasi Pengolahan Air) Pejompongan. 

Berbuntut pada tersendat bahkan matinya  aliran air ke beberapa wilayah di Jakarta.   Maka hebohlah sebagian warga Jakarta yang menggantungkan pasokan airnya pada PAM.  Sebagai konsumer  PAM, tak salah kiranya kalau para pelanggan menumpahkan kekesalannya.  

Padahal manajemen instalasi pengolahan air minum ini sudah dikelola secara profesional oleh pihak Palyja (PAM Lyonnaise Jaya).  Keprofesionalan pengelolaan seyogyanya direfleksikan dengan rutinnya inspeksi terhadap semua proses pengolahan air minum.  Mulai dari pasokan air baku, proses pengolahan, hingga distribusinya.  

Apalagi jika perusahaan air minum sudah mengantongi sertifikat ISO, OHSAS, KAN, maka sudah barang tentu manajemennya menerapkan siklus plan do check act dalam proses produksi airnya.   Dengan diberlakukannya siklus ini secara konsisten, kiranya jebolnya tanggul bisa diantisipiasi sedari dini.

Kejadian jebolnya tanggul ini, diikuti dengan berebutnya masyarakat, ketika pasokan air didatangkan dengan menggunakan mobil tangki ke beberapa wilayah di Jakarta, mengilustrasikan betapa air sangat vital bagi kebutuhan masyarakat.

Kelangkaan Air Bersih
Air menutupi 70 % permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km3 (Angel dan Wolseley, 1992).   Lebih dari 97 % air di muka bumi ini merupakan air laut yang tak bisa digunakan secara langsung oleh manusia.  Diantara 3 % air tawar, sejumlah  2,1 % tersimpan sebagai gunung es (glacier) di kutub dan sebagai uap air yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh manusia.  Jadi beralasan jika glacier mencair akibat pemanasan global, dapat meninggikan muka air laut.

Air tawar yang betul-betul tersedia bagi keperluan manusia hanya sekitar 0,62 % yaitu air yang terdapat di danau, sungai, dan air tanah.   Ironisnya lagi, jika ditinjau dari segi kualitas air yang memadai bagi konsumsi manusia, hanya sekitar 0,003 % yang mutunya memenuhi syarat untuk dikonsumsi.  Distribusinya pun juga sangat beragam. 

Di daerah-daerah kering seperti di Nusa Tenggara Timur, ketersediaan air sangat terbatas, bahkan di wilayah pegunungan sekalipun.  Sungai-sungai di sana kadangkala kering pada musim kemarau.
Suatu prediksi menyebutkan bahwa penduduk di muka bumi ini pada tahun 2000  sebanyak 1,3 miliar orang memperoleh air minum dari air kotor. 

Kemudian pada tahun 2005  sekitar 3,3 miliar orang mengalami kelangkaan  air.  Lalu pada tahun 2050  melonjak sekitar  4,3 miliar orang mengalami kelangkaan air.    Di negara-negara berkembang, sebanyak 61% penduduk pedesaan dan 26% penduduk perkotaan tidak mendapat akses ke air bersih (Millenium Assessment, 2005). 

Dari prediksi ini tampak bahwa ikhwal air, bukannya terpecahkan masalahnya, malah semakin rumit.  
Hal ini tak dipungkiri berkaitan erat dengan peledakan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali di negara berkembang.  Tahun 1950 penduduk jagad ini sekitar 2,5 miliar.  Dalam waktu 41 tahun mengalami penggandaan menjadi dua kali lipat hingga 5,2 miliar pada tahun 1991.  Sebuah peledakan penduduk yang luar biasa.

Air Bersih Hanya di Kecamatan
Instalasi pengolahan air minum di Nusantara ini, pada umumnya, baru mencapai tingkat kecamatan.  Desa-desa yang jauh dari ibu kota kecamatan, masih memanfaatkan sumur dan sungai sebagai air baku air minumnya. 

Di sebagian besar wilayah, sungai tidak hanya dijadikan sebagai sumber baku air minum, tetapi sebagai tempat mandi cuci kakus (MCK), dan parahnya lagi sebagai tempat pembuangan sampah dan WC terpanjang !

Sungai belum dijadikan sebagai halaman depan rumah, tapi diperlakukan sebagai halaman belakang yang berkesan jorok.  Bukan sebagai suatu habitat yang indah untuk dinikmati, sebagaimana sungai di negara maju yang dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi (river cruise).

Air Sebagai Alat Ekonomi
Melihat urgen-nya air sebagai sumberdaya, maka terkadang air dijadikan sebagai alat politik dan ekonomi.  Sebutlah pasokan air minum Singapura yang dialirkan dari negara bagian Johor Baru Malaysia,   sehingga wajar kalau Singapura selalu bermanis muka dengan Malaysia.  Sungai Rhine (panjang 1232 km) di Eropah yang melewati beberapa negara (Swiss, Austria, Jerman, Belgia, Belanda) berhulu di pegunungan Alpen, dan bermuara di Rotterdam Belanda menjadi jalur tranportasi yang sangat vital di sana.
 
Pada tahun 1986, Sungai Rhine pernah mengalami pencemaran kimia.  Setelah kejadian itu, beberapa negara yang dilewati sungai ini mengembangkan RAP (Rhine Action Programme).  Pada tahun 2000 aksi ini telah menuai hasil dengan hidupnya kembali ikan Salmon di sungai ini, dan penggunaan Sungai Rhine sebagai sumber baku air minum.

Upaya sungguh-sungguh untuk memulihkan kualitas air sungai Rhine yang melintas beberapa negara dan memetik hasil ini, kiranya patut dijadikan teladan untuk melakukan hal serupa di negara kita.  Walaupun frekuensi lalu lalang kapal sangat sibuk, tetapi sungai Rhine masih sangat bersih dan nyaman untuk dinikmati. 

Sport fishing, water sport, lazim dilakukan di sungai ini, di kala musim panas.  Bahkan di Jerman dibangun jalur khusus sepeda yang menyusur tepi sungai dan disediakan taman-taman di tepi sungai yang dimaksudkan untuk menikmati keindahan sungai Rhine.

Kontradiktif memang, Sungai Ciliwung yang menjadi sungai utama di Jakarta sangat jauh dari kesan sebagai suatu sarana rekreasi air yang pantas untuk dinikmati keindahannya.   Moda transportasi air yang pernah beroperasi, hanya berjalan seumur jagung. 

Disinyalir, salah satu alasan berhentinya beroperasi kapal tersebut, karena ketidaklayakan sungai, akibat banyaknya sampah yang tersangkut di baling-baling kapal.

Masyarakat kita kebanyakan memang belum terbiasa menghargai air, sehingga tangan masih ringan membuang sampah ke sungai, masih relatif boros mengkonsumsi air, kalangan industri pun masih leluasa buang limbah cair ke sungai. 

Dengan prinsip pencemar membayar (polluters must principle) yang diadopsi dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, niscaya kalangan industri yang mengalirkan limbahnya ke sungai tanpa memenuhi baku mutu akan terkena getahnya.

Pengelolaan air minum oleh Palyja yang berupa perusahaan multinasional yang profesional seharusnya dibarengi dengan peningkatan kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas pasokan air bersih ke konsumen. Jadi wajar kalau pengguna berteriak jika terjadi kelangkaan pasokan air !
(***)

*) Pengarang Buku “Senarai Bijak Terhadap Alam”

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011