Langkah Strategis Melindungi Umat Geger Lemak Babi Catatan sejarah dimulai saat pakar pangan Unibraw Tri Susanto pada tahun 1988 menengarai adanya bahan﷓bahan (lemak) babi di beberapa produk pangan tertentu. Isu "lemak babi" itu makin memanas dengan beredarnya selebaran yang memuat daftar beberapa nama produk yang mengandung bahan babi. Akibat selebaran itu mayoritas muslim geger dan menyulut gelombang protes umat. Di sisi produsen, berdampak omzet penjualan produk bersangkutan kontan anjlok drastis. Rentetan peristiwa tersebut merupakan tantangan bagi umat untuk lebih hati-hati dan proaktif dalam penanganannya. Untuk itu Dr. Ir. Amin Aziz dan kawan﷓kawan berinisiatif mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP.POM) di bawah naungan MUI melalui SK No. 018/MUI/I/1989 tertanggal 6 Januari 1989 beranggotakan dari unsur ulama dan ilmuwan yang berkompeten. Di awal berdirinya, kegiatan LP.POM MUI lebih banyak melakukan kegiatan sosialisasi berupa seminar dan studi lapang. Diantaranya, Seminar Perlindungan dan Keamanan Pangan (1 Desember 1989), Seminar Pemanfaatan Produk Bioteknologi untuk menunjang Produksi Pangan, Obat﷓obatan dan Kosmetika (12 September 1991), Seminar Makanan dan Labelisasi Halal serta Mudzakarah Alkohol dalam Produk Minuman. Dalam kegiatan tersebut, LP.POM MUI bekerjasama dengan instansi terkait, terutama dengan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes. Bahkan LP.POM MUI pernah berpartisipasi dalam even internasional seperti IMFEX '90 (International Muslim Food and Technology Exhibition 1990) di Singapura. Dalam pembahasan-pembahasan tersebut LPPOM MUI mencanangkan misi agar dapat menterjemahkan ajaran Alquran tentang halal dan haram yang sederhana ke dalam bahasa teknologi. Itulah masalah riil yang dihadapi masyarakat ketika harus berurusan dengan pangan olahan. Label Halal Tahun 1994, giliran Profesor Aisjah Girindra menjadi Direktur LP.POM.MUI berdasarkan SK dari MUI tanggal 1 Desember 1993, No. Kep. 817/MUI/XII/1993. Pada masa itu, sertifikasi halal terhadap pangan yang beredar di pasaran mulai dilakukan. Mulanya proses sertifikasi dilakukan sendiri oleh MUI. Sementara izin label halal pada kemasan pangan diberikan oleh Depkes cq. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Akibatnya terjadi dualisme dalam pengurusan sertifikat dan label halal. Sehingga terjadi produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI masih diperiksa lagi oleh dirjen POM guna mendapatkan izin penggunaan logo halal. Pada tanggal 21 Juni 1996 melalui piagam kerja sama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia akhirnya disepakati bahwa pencantuman label halal pada produk pangan akan ditangani bersama antara tiga instansi tersebut. Dalam pelaksanaannya sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI berdasarkan audit tim gabungan tiga instansi tersebut. Berdasarkan sertifikat halal MUI tersebut pihak perusahaan bisa mendapatkan izin pencantuman label halal dari Dirjen POM Depkes (sekarang Badan POM). Sehingga tidak ada lagi dualisme dalam kepengurusan halal. Perjuangan halal dalam sistem hukum di Indonesia ditandai dengan keluarnya UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan, sebagai payung hukum bagi kegiatan perlindungan konsumen muslim, khususnya tentang halal. Perjuangan LPPOM MUI dalam memasukkan pasal-pasal kehalalan dalam UU tersebut cukup signifikan. Perjuangan tersebut diteruskan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, yaitu PP No 69 tahun 1999. 3742 Sertifikat Halal Dalam perjalanannya yang cukup panjang ini, LPPOM MUI telah melakukan sertifikasi terhadap berbagai produsen pangan, obat dan kosmetika, baik di dalam maupun di luar negeri. Hingga kini sudah ada 3742 sertifikat halal yang diberikan atas lebih dari 10.000 produk yang beredar di pasaran. Untuk menjangkau produsen di tingkat daerah LPPOM MUI telah mengembangkan sayapnya melalui pendirian dan pemberdayaan LPPOM MUI Daerah di berbagai wilayah. Kini sudah terbentuk 18 LPPOM MUI Daerah yang tersebar di 18 provinsi di Indonesia. LPPOM MUI daerah ini mengeluarkan sertifikat halal untuk produk pangan lokal di daerahnya, seperti pemotongan hewan, produk usaha kecil dan menengah serta produk daerah lainnya. Hingga saat ini sudah 749 sertifikat halal LPPOM Daerah dikeluarkan untuk lebih dari 1500 produk. Proses sertifikasi halal tidak selamanya berjalan mulus. Ada beberapa masalah yang dihadapi LPPOM MUI menyangkut kehalalan suatu produk. Pada tahun 1995 terjadi perbedaan hasil analisa terhadap sebuah produk minuman ringan yang waktu itu belum disertifikasi. Hasil analisa LPPOM MUI menunjukkan adanya kandungan alkohol dalam produk tersebut, yang kemudian sempat menjadi polemik di masyarakat. Masalahnya reda setelah pihak produsen mengubah formulanya dan mengajukan sertifikat halal. Pada tahun 2000, LPPOM MUI mengungkapkan temuannya tentang adanya bahan haram pada formula sebuah produk MSG. Temuan ini menjadi kasus nasional yang bahkan ikut melibatkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden waktu itu. Meskipun fatwanya ditentang Presiden Gus Dur, namun MUI tetap teguh pada kesimpulannya dan memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menarik produk haramnya dari pasaran. Dewan Halal Dunia Pada tingkat global, LPPOM MUI berperan aktif dalam menjalin kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal internasional. Atas inisiatif dan prakarsa LPPOM MUI, maka pada tahun 1999 didirikan World Halal Council (WHC) atau Dewan Halal Dunia, dan Prof Aisjah Girindra diangkat sebagai presidennya. Pada tanggal 12 Februari 2004 diadakan kongres WHC yang memantapkan langkah-langkahnya dengan keluarnya kesepakatan antar lembaga sertifikasi halal untuk membuat standar pemeriksaan halal yang sama untuk seluruh negara anggota Dewan Halal Dunia. Langkah ke Depan LPOM MUI akan memperkuat peranannya, khususnya dalam memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap masyarakat. Beberapa permasalahan yang masih menjadi catatan dan agenda bagi LPPOM MUI antara lain: 1. Arah RUU Jaminan Produk Halal Saat ini pemerintah sedang menggodog RUU jaminan produk halal. Mengingat peranan dan kontribusi yang sudah diberikan LPPOM MUI selama 17 tahun ini, sudah selayaknya jika sistem dan peranan itu tidak dihilangkan. Apa yang sudah ada itu perlu dimanfaatkan dan dikembangkan, sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi perlindungan konsumen muslim dalam mengkonsumsi pangan halal. 2. Penggunaan logo halal standar Hingga kini belum ada logo halal standar yang diakui pemerintah. Perusahaan bisa mencantumkan logo halal sesuai dengan selera masing-masing. Dengan demikian masyarakat sulit membedakan, mana logo yang mencerminkan produk yang telah memiliki sertifikat halal dan mana yang belum. LPPOM MUI sudah mengusulkan berkali-kali agar ada logo halal khas yang mencerminkan sertifikat halal tersebut. Rupanya usulan ini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ke depan LPPOM MUI akan terus memperjuangkan logo standar ini untuk memberikan kepastian hukum, baik bagi produsen maupun konsumen. 3. Tindakan terhadap pelanggaran Di dalam UU Pangan dan UU Perlindungan konsumen telah menyebutkan sanksi-sanksi bagi pelanggar yang mencantumkan logo halal tanpa tanggung jawab. Namun kenyataannya hingga saat ini masih banyak pelanggaran-pelanggaran terjadi dan belum ada satupun tindakan dari pihak terkait. Misalnya produk yang mencantumkan logo halal tanpa didukung sertifikat halal atau bukti yang memadai, produk impor yang mengandung bahan haram (babi, minuman keras dan bahan turunannya) yang beredar bebas tanpa ada tanda khusus. Dalam hal ini perlu peningkatan peran pengawasan dari instansi terkait, agar produk yang tidak halal terpantau dan diketahui masyarakat secara pasti. 4. Pengawasan peredaran produk daging Daging, baik lokal maupun impor, perlu diawasi peredarannya, sehingga jelas kehalalannya. Khusus daging impor perlu adanya pengawasan terhadap peredaran daging impor ilegal yang masih sering dijumpai di pasaran. Sedangkan untuk daging lokal, perlu pengawasan peredaran daging haram (misalnya celeng) di pasar dan sertifikasi halal bagi rumah potong hewan. 5. Pembelaan terhadap industri kecil Selama ini ada anggapan bahwa sertifikasi halal hanya untuk industri besar saja. Anggapan ini tidaklah benar. LPPOM MUI telah melakukan sertifikasi halal pada industri-industri kecil bekerja sama dengan instansi terkait. Ke depan, langkah ini akan terus dilakukan melalui kerja sama yang lebih erat dengan asosiasi, departemen perindustrian dan dengan memperkuat peranan LPPOM MUI Daerah. 6. Memperkuat peranannya dalam dunia internasional Eksistensi dan peranan LPPOM MUI telah diakui oleh dunia internasional. Ke depan peranan itu akan ditingkatkan dengan memperkenalkan dan memberlakukan standar pemeriksaan halal yang sama di seluruh dunia dengan mengacu kepada standar yang dimiliki oleh LPPOM MUI. Untuk mendapatkan masukan dan dalam rangka sosialisasi arah dan program LPPOM-MUI maka digelar Lokakarya dan Jumpa Pers "Refleksi 17 Tahun Perjalanan LPPOM MUI" pada tanggal 30 Januari 2006 di Hotel Millenium, Jl Fachrudin No.3 Jakarta Pusat. Rencananya, hadir antara lain: Menteri Agama , Ketua MUI, Menteri Pertanian/Dirjen Peternakan, Kepala BPOM, GAPMMI, Wakil Dewan Halal Dunia (AS, Australia, Jepang, Malaysia dan Afrika), pengusaha dan pelaku bisnis. Jakarta, 30 Januari 2006 Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra Direktur LPPOM MUI Masjid Istiqlal Ruang 25 Jl. Taman Wijayakusuma Jakarta 10710 Telp./Fax. 021- 3507486 Lab Terpadu Kimia Analisis IPB Jl. Lodaya II No.3 Bogor 16151 Telp. 0251 358748, 323166 Fax. 358747

Copyright © ANTARA 2006