Jakarta (ANTARA) - Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) Linda Agum Gumelar mengatakan terlambatnya pemberian penanganan pada pasien kanker merupakan akibat dari adanya ketakutan masyarakat dan jauhnya jarak rumah sakit yang harus ditempuh.

“Ada dua penyebabnya kalau kami lihat. Pertama, pasien delay atau adanya keterlambatan penanganan pasien penyebabnya antara lain keterbatasan pengetahuan,” kata Linda dalam media briefing Hari Kanker Sedunia 2022 bertajuk "Close the Care Gap" yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Linda menuturkan adanya ketakutan dalam diri seseorang untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan baik terkait skrining maupun dalam melakukan Sadari (periksa payudara sendiri) dan Sadanis (periksa payudara secara klinis).

Baca juga: Kemenkes: Budaya dan biaya jadi tantangan tangani kanker di Indonesia

Padahal, pelatihan tersebut sangat penting bagi generasi masa depan untuk memahami kondisi payudaranya dengan lebih baik dan tetap sehat.

Selain ketakutan memeriksakan diri, banyak masyarakat yang juga takut dengan biaya pemeriksaan yang mahal. Dari situlah kemudian dana membengkak karena pasien memeriksakan diri setelah memasuki stadium lanjut.

“Ketakutan yang amat sangat bisa terjadi juga karena dia enggan berobat ke dokter. Sehingga lebih memilih pergi ke pengobatan alternatif,” ucapnya.

Sementara itu, kondisi diperburuk dengan seringkali ditemukannya kasus di mana jarak yang harus ditempuh oleh pasien untuk mendapatkan layanan pemeriksaan di rumah sakit sangat jauh. Akibatnya, pasien telat untuk mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya.

Setelah sampai di rumah sakit, adanya kebijakan BPJS yang cukup kompleks dan tidak dapat menanggulangi biaya untuk penanganan kanker, membuat pasien kesulitan mengakses layanan tersebut sehingga masyarakat memilih menunda pemeriksaan.

Sementara itu, belum lengkapnya sarana dan prasarana pemeriksaan kanker payudara seperti USG dan alat mamografi di fasilitas kesehatan tingkat I maupun II, membuat deteksi dini pada kanker itu jadi terbatas.

“Terbatasnya USG bahkan alat mamografi akhirnya membuat pasien harus pergi ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih jauh. Ini yang memerlukan waktu cukup lama, biaya tidak murah dan jarak yang tidak dekat menyebabkan mereka mengalami penundaan,” tegas Linda.

Melihat pelayanan pada penderita kanker payudara masih mengalami kesulitan, dia menyarankan agar pemerintah setidaknya dapat memperluas edukasi mengenai pemeriksaan payudara sendiri melalui kurikulum pembelajaran reproduksi yang dimulai sejak SLTA kelas 11.

Sebab, materi yang diberikan masih seputar gametogenesis, alat-alat reproduksi, hormon yang berperan baik pada menstruasi maupun persalinan dan pemberian ASI.

Ia berharap deteksi dini dan edukasi yang di mulai sejak masa sekolah dapat membantu menekan angka kanker payudara di Indonesia dan menciptakan generasi bangsa yang sehat.

“Di 2040 kita baca berdasarkan perkiraan dari kabupaten, di dunia dan juga di Indonesia. Seharusnya ini diberikan kepada anak-anak di tingkat SLTA,” kata Linda.

Baca juga: Kemenkes lakukan transformasi layanan deteksi dini penderita kanker
Baca juga: Kemenkes: Layanan deteksi dini penderita kanker perlu ditingkatkan
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Deteksi dini perbesar peluang sembuh kanker payudara

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022