Ekspresi kecewa Ralf Rangnick, saat menjadi pelatih RB Leipzig, berjalan melintasi trofi Piala Jerman usai menerima medali runner-up lantaran kalah 0-3 dari Bayern Muenchen dalam partai final di Stadion Olimpiade, Berlin, Jerman, Sabtu (25/5/2019) setempat. (ANTARA/REUTERS/Andreas Gebert)

Heavy metal

Klopp memang orang pertama yang memopulerkan filosofi ini di Borussia Dortmund dan kemudian Liverpool, tapi Rangnick-lah orang pertama yang menerapkannya dalam tim-tim yang pernah dikelolanya.

Cerita gegenpresssing berawal pada 1983 ketika Rangnick masih berusia 25 tahun dan menjadi pemain sekaligus pelatih klub divisi keenam Liga Jerman, Viktoria Backnang.

Tahun itu Backnang menjalani laga persahabatan dengan Dynamo Kiev asuhan Valeriy Lobanovskiy. Rangnick terperangah oleh cara Kiev bermain. Klub Uni Soviet itu tak henti menekan, baik saat membawa bola maupun ketika kehilangan bola.

Baru kali itu Rangnick mengetahui ada tim yang konstan menekan dari awal sampai akhir, dan tak pernah mengendurkan tekanan kendati sudah di atas angin.

Taktik menekan tak henti dan terorganisir yang diterapkan Lobanovskiy itu memaksa Rangnick menemukan filosofi sepakbola yang waktu itu asing bagi dunia sepakbola Jerman.

Dia kemudian menerapkan filosofi itu begitu melatih sejumlah klub termasuk Hoffenheim dan RB Leipzig. Dan ini membantu merevolusi sepakbola Jerman, selain mengilhami pelatih-pelatih Jerman masa kini, termasuk Klopp, Tuchel, dan pelatih Bayern Muenchen Julian Nagelsmann.

Sampai 1980-an gegenpressing dianggap terlalu radikal di Jerman yang masih terbuai sukses timnas dalam Piala Dunia dan Piala Eropa karena setia kepada taktik konservatif memasang sweeper dan man-marking atau mengawal pemain lawan.

Gegenpressing lalu dikawinkan dengan taktik penjagaan wilayah atau zonal marking yang diterapkan AC Milan pada era Arrigo Sacchi.

Setelah belajar sana sini, Rangnick menerapkan filosofi itu saat menangani tim-tim divisi bawah termasuk Ulm 1846 yang dia antarkan promosi ke Bundesliga pada 1999 dengan bermodalkan barisan pemain yang energik dan haus kemenangan, salah satunya Thomas Tuchel.

Baca juga: MU dalam bayang-bayang revolusi Sang Profesor

Kemudian setelah Jerman disingkirkan Kroasia dalam perempatfinal Piala Dunia 1998, diskusi mengenai filosofi baru sepakbola menjadi mengemuka. Mereka pikir sudah waktunya meninggalkan taktik lama untuk merangkul taktik baru nan revolusioner seperti dikenalkan Rangnick.

Dunia sepak bola Jerman pun akhirnya mengadopsi luas gegenpressing dan semakin dikuatkan oleh datangnya pelatih asal Spanyol, Pep Guardiola, ke Bayern Muenchen.

Rangnick memang tak pernah bisa mengantarkan klub-klub asuhannya menjadi juara Bundesliga, tetapi cara pandangnya beresonansi luas kepada ekosistem sepak bola Jerman.

Kini Rangnick berusaha mempraktikkan pendekatan itu di Manchester United ketika Jurgen Klopp dan Thomas Tuchel sudah lebih dulu menerapkannya di Liverpool dan Chelsea yang menjadi kampiun di Inggris dan Eropa saat ini.

Baca juga: Klopp sebut kedatangan Rangnick kabar buruk untuk tim-tim Inggris

Sepakbola tempo tinggi nan cepat yang menjadi ciri khas gegenpressing yang diasosiasikan dengan musik heavy metal dan rock n roll oleh Klopp dan Rangnick itu pun bisa meniadakan kecenderungan sepakbola tempo lamban dan hanya menunggu kesempatan melancarkan serangan balik yang tak terlalu menarik untuk ditonton.

Oleh karena itu, ditambah Pep Guardiola yang pendorong berat sepak bola menyerang dan anti mengendurkan tempo sekalipun timnya sudah di atas angin, kehadiran legiun Jerman dalam sistem kepelatihan Liga Inggris bisa membuat liga yang paling banyak ditonton di dunia ini menjadi kian panas dan kian menarik.
 

Copyright © ANTARA 2021