Jakarta (ANTARA) - "Desain menciptakan budaya. Budaya membentuk nilai. Nilai menentukan masa depan." Demikian desainer grafis ternama asal Kanada Robert L Peters berujar seakan mengungkapkan tidak saja mengenai betapa pentingnya posisi desain bagi perkembangan suatu produk, tetapi juga pengaruhnya dalam kehidupan manusia.

Dalam realitas, sebagai contoh sederhana, kebenaran dari ungkapan tersebut dapat dilihat misalnya pada teknologi komputer. Di awal kelahirannya, wujud komputer sangat besar dan tidak praktis.

Tetapi seiring kemajuan teknologi dan penerapan desain produk yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan manusia, komputer kini menjadi sangat mudah dibawa dalam bentuk komputer jinjing maupun tablet.

Dengan desain tersebut, ditambah ragam nilai dan fitur yang disuguhkan, membawa komputer dianggap telah menjadi kebutuhan primer bahkan menjadi budaya yang sangat dominan tidak hanya dalam dunia kerja tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern.

Contoh konkret lain tentang pengaruh kuat desain terhadap budaya bisa dilihat pada industri furnitur atau dekorasi rumah dan fesyen. Indonesia memiliki industri furnitur yang berbasis pada kearifan lokal yang sangat diminati di pasar global.

Tetapi di sisi lain, produk-produk berdesajn Scandinavian kini tengah menjamur di dalam negeri.

Di industri fesyen, Indonesia beruntung memiliki khasanah batik dan fesyen muslim yang semakin diakui dan diminati dunia.

Namun di sisi lain, di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan anak muda, produk-produk fesyen Korea kini tengah menjadi tren dan budaya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut bahwa di titik tersebut, ada semacam ‘pertarungan’, tidak semata pertarungan produk, tetapi juga pertarungan nilai dan budaya.

Jadi, sebagai pembentuk budaya, desain itu sendiri secara inheren membawa nilai yang ingin dikenalkan atau dipromosikan.

Setiap kali membeli suatu produk, pada dasarnya seseorang memberikan dukungan terhadap kelestarian nilai yang dikandung oleh produk itu sendiri.

Karena itu, para desainer yang menciptakan merek dan produk pada dasarnya bertanggung jawab atas pesan dan visual yang dilihat sehari-hari di sekitar kita.

Tanggung jawab itu adalah keseimbangan antara apa yang dicari oleh konsumen dan nilai apa yang mereka yakini dan suguhkan di masa depan.

"Di sinilah letak peran strategis para desainer dalam menentukan masa depan. Masa depan seperti bagaimana dan nilai apa yang akan dikedepankan tergantung dari para desainer," kata Menperin.

Bangsa Indonesia, dengan ragam entitas budaya yang dimiliki, sangat kaya akan nilai. Sebagai bagian dari identitas bangsa, nilai-nilai tersebut sepatutnya dilestarikan dan bahkan dipromosikan agar dapat penetrasi ke tingkat dunia hingga menjadi budaya global.

Untuk itu, keragaman budaya di tanah air harus dapat dimaknai dan dilihat sebagai sumber inspirasi untuk menghasilkan karya-karya.

Jika Indonesia mampu melihat ragam kebudayaan sebagai sumber inspirasi, maka RI akan memiliki segudang ide-ide baru yang dapat dituangkan ke dalam berbagai bentuk karya.

Dengan mengadopsi kearifan lokal, karakter khas Indonesia dapat tetap terjaga seiring tren lain yang terus bermunculan.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara memadukan atau mengembangkan desain sehingga karakter, nilai dan budaya lokal tetap hidup dan mampu bersaing di tengah pertarungan nilai dan budaya secara global.

 

Penghargaan tertinggi

Sebagai langkah awal memenangkan Indonesia dalam pertarungan nilai dan budaya lewat desain produk industri, Kementerian Perindustrian menggelar Indonesia Good Design Selection (IGDS) yang bertujuan untuk mendorong penguatan nilai, karakter, dan kualitas produk.

Penghargaan yang dihelat setiap tahun sejak 2003 itu, tahun ini memasuki usia ke-18. Dengan mengusung tema "Produk Indonesia Berkarakter", diharapkan para peserta mampu mencerminkan karakter kuat dari berbagai jenis Industri di Indonesia, di antaranya kerajinan, furnitur dan home décor, alat kesehatan dan keselamatan, serta alas kaki dan aksesoris fesyen.

Penghargaan IGDS 2021 diberikan atas dua kategori yaitu "Design Product" untuk produk jadi dan "Design Concept" untuk konsep produk.

Adalah Freddy Chrisswantra penerima Grand Award kategori Design Product dengan karyanya "Sada". Sada merupakan tempat saji makanan berbentuk bulat yang memadukan material bambu dan kayu jati dengan ukiran khas di bagian penutup.

Freddy Chrisswantra penerima Grand Award kategori Design Product dengan karyanya "Sada". (ANTARA/ Sella Panduarsa Gareta)
Bambu yang berbaris melingkar terinspirasi dari kandang burung yang sangat khas di Indonesia.

Freddy melibatkan perajin kayu jati di Jepara dan Bali untuk mengolaborasikannya dengan bambu dari Tasikmalaya hingga menghasilkan bentuk, tekstur warna, dan kesan mewah yang melekat pada "Sada".

Lewat "Sada", yang dalam bahasa sanskerta berarti cantik, Freddy ingin mengangkat harkat dan derajat sebuah makanan sebagai wujud rasa syukur atas berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Di bawah bendera PT Bana Andaru Nusantara, Freddy telah memproduksi "Sada" dengan harga jual Rp300.000-Rp700.000 per buah. Tidak hanya di dalam negeri, Sada juga diekspor untuk memenuhi kebutuhan di beberapa negara.

Adhi Nugraha, salah satu juri IGDS menyampaikan bahwa karya Freddy merupakan sebuah terobosan baru terhadap teknis dan material tradisional, yang menjadikannya sebuah bentuk kerajinan kontemporer berkualitas tinggi, dan meningkatkan nilai dari objek tradisi.

Sementara itu, seorang Desainer Produk lulusan Universitas Pelita Harapan bernama Sharon Belinda Edwina menerima penghargaan Grand Design untuk kategori "Design Concept" dengan karyanya "Nifitali-tali".

"Nifitali-tali" adalah seperangkat perhiasan pria yang menggunakan teknik pembuatan sesuai dengan kalung yang dipakai oleh para prajurit di Pulau Nias.

Sharon melihat potensi pada perhiasan nifitali-tali dari Nias, karena proses pembuatannya yang unik dan memiliki kombinasi teknik yang tidak bisa di temukan di perhiasan asal Indonesia lainnya.

Sharon Belinda Edwina penerima penghargaan Grand Design untuk kategori "Design Concept" dengan karyanya "Nifitali-tali". (ANTARA/ Sella Panduarsa Gareta)
Perajin nifitali-tali sendiri sudah hampir tidak dapat ditemukan di Nias. Akhirnya, perempuan 23 tahun tersebut mengembangkan teknik pembuatan nifitali-tali yang lebih mudah agar bisa diproduksi di jaman sekarang, mengingat pembuatan aslinya membutuhkan keterampilan khusus sehingga sulit untuk dipelajari.

Selain itu desain yang dibuat untuk mengaplikasikan teknik tersebut juga memiliki desain kontemporer agar dapat menarik perhatian publik. Kemudian, desain memiliki konsep yang merupakan latar belakang dari nifitali-tali agar cerita dibaliknya juga bisa tersampaikan.

Sharon berharap, desainnya dapat mendorong kaum pria di Indonesia untuk lebih eksploratif berekespresi melalui apa yang mereka pakai.

Salah satu juri IGDS yang juga akademisi Prananda L Malasan mengatakan, "nifitali-tali" sangat tepat untuk mengisi kebutuhan perhiasan bagi pria. Nilai tradisi dari Nias pun berhasil ditrasformasikan dengan sangat baik pada produk perhiasan tersebut.

Untuk semakin menggaungkan karya-karya anak bangsa tersebut, Kemenperin akan menerbangkan karya-karya para penerima penghargaan IGDS untuk ikut meramaikan gelaran Golden Pin Design Award 2022 di Taiwan.

Dengan demikian, diharapkan Indonesia mampu bersaing dalam pertarungan nilai dan budaya lewat desain produk industri, yang pada suatu saat nanti dapat keluar sebagai pemenang.


Baca juga: Melalui IGDS, Kemenperin apresiasi pengembangan desain produk industri

Baca juga: Menperin pacu desainer produk industri nasional raih peluang global

Baca juga: Industri kecil menengah Jabar dominasi penghargaan Upakarti-IDGS 2020

Baca juga: Wapres serahkan Penghargaan Upakarti dan IGDS Tahun 2020


Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021