Indonesia akan mendorong tercapainya kesepakatan yang inklusif
Jakarta (ANTARA) - Indonesia akan mendorong tercapainya kesepakatan inklusif yang bermanfaat bagi negara maju dan berkembang ketika dalam Pertemuan ke-4 Para Pihak (COP-4) Konvenesi Minamata Tentang Merkuri tahap pertama yang diadakan virtual pada 1-5 November 2021.

"Pada COP 4.1 ini, Indonesia akan mendorong tercapainya kesepakatan yang inklusif, bermanfaat bagi negara maju maupun negara berkembang," kata Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati ketika menjawab menjawab pertanyaan ANTARA lewat aplikasi pesan, dari Jakarta pada Senin.

Menurut Vivien, yang juga menjadi Presiden COP-4 Konvensi Minamata, pihak Indonesia akan berupaya mendorong tercapainya kesepakatan yang dapat mengakomodir kepentingan negara berkembang dan maju. Sehingga manfaat dari Konvensi Minamata dapat dirasakan seluruh pihak.

Sebagai contoh, jelasnya, dalam konferensi tahap pertama itu akan membahas mengenai kerja dan anggaran (work and budget) yang menjadi salah satu isu sentral pada pertemuan yang diadakan virtual itu.

Baca juga: KLHK: Penggunaan merkuri berhasil dikurangi

Baca juga: RI dorong deklarasi lawan perdagangan ilegal merkuri di COP-4 Minamata


"Dalam COP-4.1 ini kami mengharapkan dan mendorong setiap parties memberikan pandangan secara efektif. Isu-isu yang dibahas diharapkan dapat mendekati konsensus sehingga dapat relatif lancar pada saat proses adopsi di COP-4.2," jelasnya.

Konvensi Minamata Tentang Merkuri adalah pakta internasional untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak merkuri. Indonesia menjadi tuan rumah dari COP-4 Konvensi Minatamata yang diadakan dua tahap, secara virtual pada 1-5 November 2021 dan tatap muka di Bali pada 2022.

Konvensi itu muncul salah satunya mendorong pengurangan dan eradikasi penyakit minamata akibat keracunan akut dan paparan merkuri secara terus menerus dalam tingkat yang tinggi. Minamata adalah sebuah sindrom kelainan fungsi saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan kegilaan.

Penyakit itu mendapatkan nama dari kota Minamata di Jepang, tempat pertama kali ditemukan penyakit tersebut pada 1958 akibat kerusakan lingkungan karena pembuangan limbah merkuri dalam jumlah besar selama puluhan tahun di wilayah itu.

Baca juga: COP-4 Konvensi Minamata akan digelar November 2021 dan Maret 2022

Baca juga: Indonesia serahkan instrumen ratifikasi Minamata ke PBB

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021