Jakarta (ANTARA News) - Konflik antara Kongres Advokat Indonesia (KAI) dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) disampaikan ke pimpinan MPR pada Senin saat 12 pengurus KAI menemui Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dan Lukman Hakim Saifuddin.

Wakil Ketua MPR menerima delegasi KAI di Ruang Rapat Pimpinan MPR di Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD di Jakarta.

Delegasi KAI yang datang ke gedung parlemen berasal dari DPP KAI maupun DPD KAI Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Riau. Delegasi menyampaikan bahwa perselisihan antaradvokat, KAI dan Peradi selama setahun ini belum menemukan titik temu.

Kunjungan KAI ke MPR ini merupakan kunjungan ini yang kedua kalinya. Di masa MPR di bawah pimpinan Hidayat Nurwahid, pengurus KAI juga pernah melakukan audensi.

Delegasi KAI yang datang itu langsung dipimpin Presiden KAI H. Indra Sahnun Lubis yang didampingi Vice Presiden KAI Eggi Sudjana dan Sekjen KAI Abd. Rahim Hasibuan. "Kami berterima kasih karena telah diterima dengan baik oleh pimpinan MPR," ujar Abd. Rahim Hasibuan.

Bertemu pimpinan MPR menurut Abd. Rahim Hasibuan merupakan sebuah kehormatan, tak heran bila beberapa pengurus daerah ikut beraudensi. "Mereka datang secara spontan dari daerah untuk bisa ikut ke sini," katanya.

Menurut Abd Rahim Hasibuan, sebenarnya semua menginginkan adanya satu organisasi yang mewadahi para advokat, namun itu sulit dilaksanakan sebab undang-undang mengenai advokat tidak mengatur yang demikian, dengan mengacu pada Pasal 28 UU. No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

"Namun semua organisasi advokat yang ada mengklaim dirinyalah yang sebagai wadah tunggal," ujarnya.

Akibat adanya salah satu pihak yang mengatakan dirinya sebagai wadah tunggal para advokat, maka di antara para advokat sering terjadi gontok-gontokan. Hal ini semakin parah, menurut Abd. Rahim Hasibuan, ketika Ketua MA Harifin A. Tumpa turut campur.

Turut campurnya MA itu dengan adanya surat No. 089/KMA/VI/2010 yang ditujukan kepada para KPT (Ketua Pengadilan Negeri) seluruh Indonesia, yang intinya, organisasi advokat yang diakui oleh MA sebagai satu-satunya wadah profesi advokat adalah Peradi.

Adanya surat ketua itu menimbulkan keresahan bagi para advokat yang tergabung dalam KAI. Para advokat yang tergabung dalam KAI selain tidak bisa disumpah di Pengadilan Tinggi, juga ditolak ketika hendak melakukan pembelaan di pengadilan. Hal inilah mengancam kehidupan para advokat. Mereka tidak bisa mencari nafkah dari profesinya sebagai advokat.

"Ketua MA melanggar UUD sebab dalam UUD disebutkan setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak," ujarnya yang menambahkan surat Ketua MA itu mengancam kehidupan para advokat yang tergabung di KAI yang jumlahnya mencapai 17.000 orang.

Adanya diskriminasi terhadap advokat yang tergabung dalam KAI ini membuat banyak cerita yang memilukan. Diceritakan ada advokat yang tidak bisa membela kliennya ketika hendak digelar persidangan. Ada pula advokat yang harus menjual cincin pernikahannya karena harus mengembalikan uang dari klien yang sudah dibayarnya. Uang itu harus dikembalikan karena ia tidak bisa menjalankan pembelaannya sebab ditolak oleh pengadilan.

Karena itu, Abd. Rahim Hasibuan memohon kepada pimpinan MPR agar menyurati Ketua MA agar mencabut Surat No. 089 dan mengharap agar Ketua MA tidak mencampuri masalah advokat. "Selama ini Ketua MA dengan jajaran di bawahnya memperalat supaya advokat bisa dikendalikan," ujarnya.

Penjelasan Abd. Rahim Hasibuan senada dengan Indra Sahnun Lubis. Menurut dia, apa yang terjadi saat ini bahwa penegak hukum di pengadilan lebih takut dan taat kepada surat Ketua MA daripada undang-undang. "Harifin A. Tumpa berbohong soal wadah tunggal Peradi, dalam undang-undang hanya disebut organisasi advokat," ujarnya.

Saat ini, kata Indra Sahnun Lubis, Ketua MA telah melanggar undang-undang, sebab ada advokat yang dilarang dan ada pula yang tidak dilarang sehingga sering menimbulkan keributan di pengadilan.

Perjuangan yang dilakukan KAI memang sudah sejak lama dilakukan. Diungkapkan oleh Eggi Sujana, sebelum lebaran di tahun 2010, dirinya sudah melakukan audensi dengan Komisi III DPR. Dikatakan DPR akan memanggil Ketua MA ke Senayan. "Namun karena ada masalah konstitusi maka undangan tersebut tidak bisa dilakukan," ujarnya.

Selanjutkan, kata Eggi Sujana, selepas Idhul Adha 2010, semula DPR akan melakukan kunjungan ke MA. "Namun semua yang dilakukan oleh DPR tidak ada hasilnya sehingga kamipun melakukan demonstrasi," ujarnya.

Itulah sebabnya dalam kedatangannya ke pimpinan MPR ini, Eggi Sujana berharap agar MPR bisa membantu perjuangan KAI.

Dia menyatakan, apa yang dilakukan merupakan langkah-langkah yang konstitusional. Ia khawatir bila tidak diselesaikan akan memunculkan kerusuhan di berbagai pengadilan di seluruh Indonesia.

Mendengar hak itu, Hajriyanto Y. Thohari merasa empati dan simpati. Pimpinan MPR ingin memberi kontribusi kepada KAI sesuai dengan wewenangnya. Adanya diskriminasi MA diakui oleh Hajriyanto Y. Thohari ternyata sedemikian jauh dan mendasar sampai pada soal hidup. "Ini masalah yang serius sebab setiap orang berhak mendapat pekerjaan yang layak," ujarnya.

Sesuai dengan kewenangannya maka ada tiga langkah yang akan dilakukan oleh Hajriyanto Y. Thohari sebagai pimpinan MPR. Pertama, akan menyampaikan masalah ini pada forum rapat pimpinan MPR. Kedua, sebagai lembaga negara, MPR bersama lembaga negara lainnya, seperti DPR, DPD, BPK, Presiden, MA, MK, KY, yang secara periodik mengadakan pertemuan. Lembaga negara itu sudah mengadakan pertemuan sebanyak 5 sampai 6 kali.

"Memang dalam pertemuan itu masing-masing lembaga negara berusaha untuk tidak saling mengintervensi namun ada beberapa hal yang bisa kita bicarakan di situ," ujarnya.

Hajriyanto Y. Thohari akan menyampaikan masalah yang dialami KAI seperti apa yang dikatakan oleh pengurus KAI, sehingga MA mendapat informasi dari pihak lain. "Banyak orang yang mengira konflik ini hanya sebatas kemelut antarorganisasi advokat, padahal lebih dari itu," katanya.

Informasi yang akan disampaikan ini dirasa penting sehingga semua pihak merasa terpanggil untuk memecahkan masalah. Ketiga, akan dilakukan komunikasi dengan Komisi III dan melalui jalur partai politik asal masing-masing pimpinan. "Kita akan mengadakan komunikasi dengan Komisi III," ujarnya.

Kehadiran KAI ke MPR disambut secara terbuka oleh Lukman Hakim Saifuddin. Dikatakan untuk memperjuangkan apa yang dialami oleh para advokat yang tergabung dalam KAI mesti dengan banyak cara.

"Jangan jadikan MPR sebagai satu-satunya lembaga untuk memecahkan masalah ini. Banyak pintu untuk mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Disebut ada tiga hal yang bisa dilakukan, yakni pendekatan persuasif, politis dan hukum," katanya.

Lukman Hakim Saifuddin optimistis masalah ini bisa terpecahkan, dirinya akan melakukan komunikasi dengan Komisi III dan pemerintah. Pendekatan politis yang dilakukan tidak hanya secara formal namun juga bisa dilakukan bersama press dan gerakan civil society.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, dirinya akan menjadi pembicara dalam foccus group discussion (FGD) di Komnas HAM. Dalam pertemuan itulah masalah KAI akan diangkat dalam acara itu. "Akan saya angkat dalam FGD di Komnas HAM," ujarnya.

Dari sekian pendapat itu, Lukman Hakim Saifuddin memwanti-wanti agar para advokat yang tergabung dalam KAI tidak menggunakan cara-cara anarkis. "Saya ikut prihatin masalah ini, namun hindari tindakan yang sifatnya anarkis," katanya.

(ANTARA/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011