Jakarta (ANTARA) - Nahdlatul Ulama mendukung dan memandang penting untuk mengatur penyelenggaraaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam peraturan perundang-undangan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya guna mengatasi pemanasan global dan melestarikan lingkungan hidup.

Dukungan NU itu merupakan salah satu butir kesepakatan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang dibacakan Sarmidi Husna, sekretaris komisi yang fokus membahas perundangan-undangan itu, pada sidang pleno di Jakarta, Minggu.

"Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dapat berupa bentuk pajak karbon, perdagangan karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas capaian kawasan pengurangan emisi," kata Sarmidi.

NU memandang pajak karbon dalam konteks ini merupakan kompensasi kerugian atas kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat emisi karbon.

"Hasil pajak karbon wajib dialokasikan untuk penjagaan dan kelestarian lingkungan hidup, termasuk pembayaran kompensasi terhadap capaian kawasan pengurangan emisi," kata Sarmidi.

Baca juga: PBNU disarankan untuk perkuat ajaran Aswaja di pemerintahan
Baca juga: PBNU minta masyarakat tak lengah kendati penularan COVID-19 melandai
Baca juga: Ma'ruf Amin minta NU mulai berperan di tingkat global


Penerapan pajak karbon, lanjut Sarmidi, harus konsisten dengan tujuan utamanya, yaitu perbaikan lingkungan hidup dan upaya pengalihan energi berbasis fosil kepada energi baru terbarukan, bukan semata-mata pemasukan pendapatan negara.

"Penerapan pajak karbon harus disinkronkan dengan perdagangan karbon (carbon trading) sebagai bagian dari roadmap green economy dan harus ada pembahasan ulang tentang cara penghitungan karbon agar tidak dapat digunakan alat persaingan bisnis," ujarnya.

Sementara itu Ketua Panitia Pengarah Munas dan Konbes NU KH Ahmad Ishomuddin menuturkan bahwa empat dari total sembilan materi tidak tuntas di bahas dalam forum itu dan disepakati akan dibahas pada Muktamar Ke-34 NU, 23-25 Desember 2021.

Keempat materi yang tertunda pembahasannya itu adalah cryptocurrency  dalam pandangan fikih, moderasi NU dalam politik, pandangan fikih Islam tentang orang dengan gangguan jiwa, dan telaah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.

Menurut Ishomuddin, forum juga menyepakati bahwa pada muktamar mendatang yang direncanakan dilaksanakan di Lampung, pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan dengan pemungutan suara one man one vote (satu orang satu suara), sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan secara perwakilan (ahlul halli wal aqdi).

"Persis seperti Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus 2015," kata Ishomuddin.

Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama digelar sejak Sabtu (25/9) dan ditutup pada Minggu.

Forum yang diikuti syuriyah dan tanfidziyah PBNU dan tiga orang perwakilan dari PWNU se-Indonesia, serta para pimpinan lembaga dan badan otonom NU itu dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021