Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) menerima 539 kasus pengaduan konsumen pada 2010, meningkat dibanding 2009 yang sebanyak 501 kasus.

Peningkatan ini, kata Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo dalam diskusi pelayanan publik di Jakarta, Kamis, karena pertumbuhan bisnis yang dilakukan tidak disertai dengan etos menjadikan konsumen sebagai raja dengan melindungi konsumen dari perilaku menipu.

"Sektor usaha justru ingin mengeruk untung sebanyak mungkin sekalipun dengan cara melanggar hak, bahkan merampok uang konsumen, dan yang ironis, kehadiran negara untuk memberikan perlindungan yang utuh pada konsumen selaku warga negara praktis belum terasakan," katanya.

Catatan YLKI menunjukan, pengaduan konsumen didominasi oleh jasa telekomunikasi sebanyak 93 kasus (22,4 persen), jasa perbankan 79 kasus (19 persen), sektor perumahan 75 kasus (18 persen), ketenagalistrikan 75 kasus (18 persen) dan jasa transportasi 35 kasus (8,7 persen).

Sementara pengaduan terkait pelayanan buruk PDAM 27 kasus (6,5 persen), masalah trik dagang 17 kasus (4,7 persen), masalah pembiayaan sepeda motor 17 kasus (4,7 persen) dan sektor otomotif sebanyak 11 kasus (2,6 persen).

Kasus di sektor jasa telekomunikasi terutama didominasi oleh fenomena perampokan pulsa oleh operator seluler atau content provider yang berkolaborasi dengan operator seluler.

Konsumen yang tidak berlangganan fitur tertentu tetapi dipotong pulsanya, ataupun kasus di mana meski sudah menghentikan layanan fitur berlangganan namun masih saja tetap dipotong atau dipersulit untuk berhenti berlangganan.

"Ironisnya Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia yang seharusnya mempunyai otoritas penuh toh terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk menjewer operator nakal," kata Sudaryatmo.

Sedangkan sektor jasa perbankan terutama terkait dengan kartu kredit.

Menurut Sudaryatmo, banyak bank yang tidak melakukan analisa yang baik kepada calon yang mengajukan kartu kredit. Alhasil banyak terjadi penunggakan, namun disayangkan terjadi premanisme saat penagihan tunggakan kartu kredit.

"Seharusnya Bank Indonesia mempunyai standar yang jelas menertibkan pemasaran kartu kredit yang cenderung mengelabui konsumen," katanya.

YLKI juga menyoroti adanya banyak pengembang yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditawarkan kepada konsumen. Mulai dari keterlambatan serah terima hingga gagal dalam membangun rumah oleh berbagai alasan, padahal konsumen telah membayar pengadaan rumah tersebut.

Menurut Sudaryatmo, aturan yang lemah dengan memberikan izin pengembang menjual rumah meski rumahnya belum dibangun menjadi celah terjadinya penipuan di sektor perumahan.

"Contohlah negeri jiran Malaysia yang menerapkan kebijakan developer dilarang menjual rumah sebelum rumahnya dibangun (ready stock)," katanya.
(M041/B010)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011