Conakry (ANTARA News) - Alpha Conde dari Guinea telah terpilih menjadi presiden, kata Mahkamah Agung Jumat, memastikan hasil pemilihan presiden bebas pertama sejak merdeka tapi juga dinodai oleh bentrokan etnik berdarah.

Setelah dua pekan menunggu dengan cemas di bawah keadaan darurat yang diterapkan segera sesudah kekerasan setelah hasil sementara menyebut Conde, 72, sebagai pemenang, Mahkamah Agung mengesahkan kemenangannya dengan 52,52 persen suara.

"Calon RPG (Persatuan Rakyat Guinea), Alpha Conde, ... terpilih sebagai presiden Republik," kata hakim Mamadou Sylla, yang memimpin pengadilan konstitusi Mahkamah Agung, pada sejumlah wartawan.

Calon saingannya, Cellou Dalein Diallo, yang para pendukungnya turun ke jalan dua pekan lalu ketika ia mengadukan pemilihan presiden itu telah dinodai dengan kecurangan, memperoleh 47,48 persen suara.

Pada jam-jam pertama Jumat pagi, semua tampak tenang di Conakry setelah pengumuman pengadilan tertinggi itu. Beberapa ratus pendukung Conde merayakan kemenangan di luar rumahnya, tapi presiden baru negara itu tidak mau berbicara pada pers.

Mahkamah agung menolak permintaan "tak berdasar" dari Diallo agar hasil pemilihan dari dua wilayah di Upper Guinea, Sguiri dan Kauroussa, dibatalkan.

Ia menyatakan kelompok etnik Malike yang bersekutu dengan saingannya dari klan yang sama, telah melakukan kampanye keras "kebencian etnik" terhadap anggota-anggota etnik Fulani-nya di daerah itu pada Oktober lalu.

Kekerasan setelah dikeluarkannya hasil sementara pada 15 November menyebabkan sedikitnya 15 orang tewas dan ratusan orang terluka ketika pasukan keamanan menindak keras demonstrasi, yang memancing kecaman internasional terhadap kekejaman yang tak ada gunanya itu.

Di Ratoma, daerah di pinggiran Conakry, seorang pemuda etnik Fulani membuat barikade, melempar batu pada pasukan keamanan dan menyerang mereka yang diduga mendukung Conde.

Para pengamat internasional mengecam "serangan sistematis oleh pasukan keamanan" terhadap para pendukung Fulani pimpinan Diallo, dan penggunaan pasukan berlebihan.

Human Rights Watch juga mengatakan pasukan keamanan yang didominasi oleh kelompok-kelompok pendukung Conde telah menggunakan "kekuatan secara berlebihan ... menyerang anggota-anggota kelompok etnik Fulani".

Pada Rabu malam, militer mengumumkan 26 tentara telah dipecat "karena secara tidak sah telah menembak, melakukan konspirasi kejahatan, menjarah, merampok, melakukan perampokan bersenjata dan menjual senjata perang sebelum dan pada saat keadaan darurat".

Pada Kami siang kedua calon pilpres melancarkan seruan terpisah untuk tenang dalam wawancara dengan radio publik.

"Saya minta agar semua kelakuan dan komentar yang dapat membahayakan perdamaian nasional dan kepaduan sosial agar dihindari," pinta Conde.

Ia berjanji, jika terpilih, untuk menjadi "presiden seluruh orang Guinea, presiden yang mendatangkan persatuan dan rekonsiliasi nasional".

Diallo sementara itu minta para pedukungnya "untuk tetap tenang dan tinggal di rumah mereka dan tidak menunjukkan kebahagiaan atau frustrasi mereka di jalan, apapun hasil pilpres".

"Kami tidak ingin ada kekerasan di negara ini," ujarnya.

Dalam upaya ketiganya untuk mendapatkan jabatan tertinggi itu, Conde berhasil menang dalam pesta yang dipuji sebagai pemilihan demokratis dan adil pertama di negara itu sejak merdeka dari Prancis pada 1958, setelah serangkaian rezim lalim dan militer.

Guinea, yang tetap miskin sekali meskipun kaya mineral termasuk cadangan boksit yang sangat besar, telah dalam krisis politik sejak kudeta Desember 2008 menyusul kematian penguasa militer dalam waktu lama Lansana Conte.

Pada September 2009, pasukan keamanan membantai 150 orang lebih pada unjuk rasa terhadap upaya junta militer untuk tetap berkuasa, kejadian tempat sejumlah wanita telah diperkosa di depan umum.

Pemerintah sementara berkuasa sejak Januari.

AFP/S008/H-AK

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010