Apalagi dalam tim tidak memasukkan KPK, jadi ada pesan politik KPK diabaikan di sini.
Jakarta (ANTARA) - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti memandang perlu Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memaparkan target kerja kepada publik.

"Publik perlu mengetahui timeline kerja tim satgas, lalu siapa targetnya: si A, B, C. Ini loh target kami untuk sekian triliun dan kapan, jadi dibuka ke publik agar publik dapat mengontrol," kata Bivitri dalam diskusi publik daring "Menyoal Langkah KPK Menghentikan Penyidikan Perkara BLBI" di Jakarta, Ahad.

Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 6 April 2021 menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI.

Bivitri mengatakan bahwa tim harus transparan betul. Bila tidak, mungkin 2—3 tahun lagi masyarakat sipil atau publik marah karena tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan dan duitnya ada yang kembali atau tidak.

Baca juga: KPK siap bantu Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI

Namun, di sisi lain Bivitri mengkritisi bahwa untuk penagihan dana BLBI bukan persoalan membentuk tim karena fungsi penagihan dana negara sendiri sudah melekat di alat-alat negara lain, seperti Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara.

"Dalam pengelolaan negara, penagihan keuangan negara sudah melekat ke jabatan tertentu, tidak usah dibentuk tim lagi," katanya.

Jika Presiden inging menunjukkan kepedulian, menurut dia, umumkan saja bahwa dalam rapat sudah menunjuk menteri A, B, dan C untuk melakukan apa saja jadi tidak perlu menerbitkan keppres karena ada administrasi negara yang keluar, seperti uang sekretariat dan lainnya, jadi mubazir.

"Apalagi dalam tim tidak memasukkan KPK, jadi ada pesan politik KPK diabaikan di sini," kata Bivitri.

Sebelumnya, KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada tanggal 31 Maret 2021 terhadap pemegang saham dan pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dalam perkara dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun.

Menurut Bivitri, tim tersebut juga menunjukkan kegagalan pemerintah bahwa tujuan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi bukan hanya agar duitnya balik, melainkan juga untuk memberikan efek jera.

"Kalau duit balik, alhamdulillah. Akan tetapi bagaimana sistemnya membuat orang jera dan berpikir ribuan kali untuk korupsi. Dengan tim ini menunjukkan yang penting duitnya saja," kata Bivitri.

Baca juga: Jokowi bentuk satgas penanganan hak tagih BLBI

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana dalam diskusi yang sama mengatakan bahwa KPK menerbitkan SP3 atau tidak, negara tetap harus menagih utang terhadap obligor BLBI.

"Sebenarnya ada atau tidak ada SP3 negara perlu menagih, kenapa mau menagih saat sudah terbit SP3? SP3 Sjamsul Nursalim kemarin itu adalah kasus yang terkecil nilainya. Ada tiga obligor besar yang mendapat surat keterangan lunas (SKL), padahal belum lunas," kata Ganjar.

Ia melanjutkan, "Kalau mau menagih, apanya yang mau ditagih? 'Kan obligor lain sudah dapat SKL dari total nilai BLBI yang konon hingga Rp600 triliun. Akan tetapi, yang sudah dinyatakan lunas, ya, tidak bisa ditagih."

Jika membentuk tim tagih, menurut dia, menanyakan saja ke bank yang memakai jasa debt collector. Sementara itu, tim yang dibentuk ini terdiri atas pejabat-pejabat negara yang sudah banyak tugasnya.

Ganjar berharap agar tim dapat menentukan mana siapa obligor yang layak untuk ditagih.

"Yang mau ditagih yang mana? Apa semuanya atau obligor tertentu? Silakan cek dahulu hak tagih negara, bukan hanya BLBI, sekalian yang lain saja, kok concern sekali ke BLBI?" kata Ganjar.

Baca juga: KPK SP3 Sjamsul Nursalim, Mahfud: Negara akan buru aset BLBI

Dalam Keppres Nomor 6 tahun 2021 tentang pembentukan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI dibetukan satgas terdiri dari dua bagian besar, yaitu pengarah dan pelaksana.

Ketua Satgas adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dengan Wakil Ketua Satgas, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.

Ketua Satgas melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada pengarah sesuai dengan kebutuhan dan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan selaku pengarah paling sedikit satu kali setiap 6 bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Satgas bertugas sampai 31 Desember 2023.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021