studi banding untuk mendalami solusi penanggulangan banjir seharusnya ke Malaysia dan Jepang
Jakarta (ANTARA) - Penasihat Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Abdul Ghoni menyebut Panitia Khusus (Pansus) Banjir DPRD DKI Jakarta telah salah sasaran, mulai dari kajian yang akhirnya melahirkan rekomendasi untuk permasalahan banjir di Ibu Kota.

Ghoni mengatakan sengkarut banjir yang sudah menahun membelit Ibu Kota tidak bisa diselesaikan hanya dengan rekomendasi Pansus Banjir DPRD DKI, terlebih kajian pansus tersebut bersumber dari studi banding di dua daerah yang ternyata juga belum berhasil mengatasi banjir, yaitu Surabaya dan Semarang.

Baca juga: Wagub DKI: Program penanggulangan banjir di Jakarta tetap berjalan

"Kunjungan pansus studi banding ke Surabaya dan Semarang itu salah sasaran meski sah-sah aja. Karena di dua daerah tersebut, bahkan sebelum kunjungan pansus juga sudah banjir. Saya kan juga salah satu anggota pansus banjir, di sana sungai yang dinormalisasi juga tidak mampu menampung debit air dan melimpas ke jalan," kata Ghoni dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Karena itu, Ghoni menyebut, kajian pansus yang dipimpin oleh Zita Anjani juga tidak relevan untuk menjawab persoalan banjir di kawasan metropolitan Jakarta jika berdasar kajian di Surabaya dan Semarang yang disebutnya memiliki karakter berbeda dengan Jakarta yang memiliki 13 sungai.

Anggota DPRD DKI tiga periode ini menyebut, mestinya, studi banding untuk mendalami solusi penanggulangan banjir bisa dilakukan ke negara-negara yang sudah terbukti mengatasi persoalan banjir seperti Malaysia dan Jepang.

Baca juga: Wagub: Rotasi Kadis SDA hal biasa dan bukan alasan personal

"Ya, kalau mau studi banding yang bener ke Jepang dan Malaysia yang relatif berhasil menangani banjir. Saya dulu sudah pernah studi banding ke sana, di Malaysia misalnya, disana jalan tol bawahnya bisa menampung air, jadi air masuk di bawah jalan-jalan tol. Begitu juga di Jepang, itu punya DAM besar, yang bisa menampung sampai tiga juta kubik air," ujar Ghoni.

Selain itu, Ghoni menilai kritik yang kerap dilontarkan mantan Ketua Pansus Banjir DPRD DKI Jakarta Zita Anjani juga salah sasaran dan menurutnya berlebihan lantaran menuding Gubernur DKI Anies Baswedan tidak bekerja terkait persoalan banjir Jakarta.

"Saya kira Pansus terlalu cepat dan buru-buru, sehingga tidak maksimal. Kemarin rekomendasi Bu Zita juga sudah saya kasih masukan. Jadi, kita tidak bisa hanya sekedar merekomendasikan, lalu menyalahkan Pak Anies, itu tidak mungkin. Karena sejak zamannya Pak Ali Sadikin, Pak Sutiyoso sampai sekarang tidak ada gubernur yang bisa mengatasi banjir Jakarta," katanya.

Baca juga: Kurangi banjir Jakarta, TNI AU-BPPT lakukan modifikasi cuaca

"Selain itu, bu Zita juga terkesan belum menguasai Jakarta. Menurut saya, bu Zita kalau menganggap Pak Anies tidak bekerja, Bu Zita sebaiknya pahami dulu terkait persoalan banjir di Jakarta," ucap Ghoni.

13 Sungai
Menurut anggota Komisi D DPRD DKI ini, persoalan utama banjir Jakarta ada di 13 sungai di DKI Jakarta yang kondisinya sudah mengalami pendangkalan, penyempitan, hingga pencemaran sampah, akibatnya tinggi volume air tidak mungkin lagi tertampung.

Namun, kata dia, untuk kewajiban normalisasi 13 sungai itu kewenangannya berada di pemerintah pusat yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Karena kewajiban yang ada, menurutnya membuat penanganan banjir di DKI lambat.

"Bu Zita juga seharusnya sudah tahu ini, bahwa kewajiban normalisasi 13 sungai itu di PUPR. Sedangkan kewajiban Pemprov DKI itu hanya sebatas pembebasan lahan. Kalau PUPR ada kendala di pembebasan lahan, bilang aja ke Pemprov DKI, pasti diberesin. Kita ada anggarannya kok. Tapi ini PUPR gimana ya sampai sekarang Kali Ciliwung dan Krukut saja belum selesai," tutur Ghoni.

Karena itu, menurut Ghoni tidak tepat kalau persoalan banjir Jakarta terus menerus saling menyalahkan. Dia pun meminta semua pihak untuk memahami persoalan banjir yang tidak sederhana.

Diketahui, kewajiban penggarapan normalisasi 13 sungai besar di Jakarta dibagi dua tanggung jawabnya di mana sembilan di antaranya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan sisanya adalah Pemprov DKI.

Kendati demikian, pemerintah pusat (Kementerian PUPR) baru bisa melakukan "penggarapan" jika Pemprov DKI sudah melakukan pembebasan lahan di 13 sungai yang terdiri dari Angke, Pesanggragan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Ciliwung, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, Cakung, dan Mookervaart.

Dalam kurun dua tahun, pejabat DKI mengklaim pembebasan lahan bagi kelanjutan normalisasi tetap dijalankan. Terakhir mantan Kepala Dinas Sumber Daya Air Juaini Yusuf yang mengatakan pembebasan tersebut terhambat COVID-19 yang menyusutkan APBD Jakarta sehingga DKI mengajukan pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga Rp1,2 triliun untuk penanganan banjir.

Untuk Sungai Ciliwung, SDA DKI telah menetapkan 118 bidang lahan di bantaran sungai akan dapat bayaran pembebasan lahan di empat kelurahan, yakni Kelurahan Pejaten Timur, Tanjung Barat, Cililitan, dan Balekambang. Nilainya sendiri mencapai Rp669,9 miliar karena mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP) 2019.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021