“Seandainya Olimpiade harus diadakan tanpa penonton atau dengan penonton yang lebih sedikit di stadion, saya kira saat ini atlet dan dunia olah raga mau menerima itu,"
Kemenangan umat manusia

Tentu saja protokol baru itu melibatkan aturan jaga jarak sosial di Kampung Atlet dan tes COVID-19 yang ketat, namun tidak ada ketentuan wajib karantina selama dua pekan begitu peserta tiba di Tokyo.

Belajar dari Australian Open tahun ini, wajib karantina malah membuat atlet mengalami berbagai masalah. “Sangat tak layak meminta atlet berada dalam situasi yang membuat mereka tak bisa berlatih sebelum dua pekan sebelum berkompetisi,” kata Muto.

Dari tekad mereka tersebut, terlihat ada konsensus besar bahwa Olimpiade Tokyo tetap digelar tahun ini.

Meskipun begitu, kekhawatiran rakyat Jepang yang saat ini menjalani keadaan darurat akibat melonjaknya kasus infeksi, tidak boleh dikesampingkan. Namun, sebagaimana diutarakan anggota senior IOC Dick Pound, IOC memang ingin mengetahui alasan di balik kekhawatiran rakyat Jepang itu. “Saya ingin tahu alasannya dan ingin menjawabnya,” kata Pound.

Namun dia memohon rakyat Jepang menjaga perasaan atlet yang sudah bertahun-tahun berlatih agar bisa berkiprah pada ajang olah raga terbesar ini, apalagi vaksin yang tahun lalu diharapkan Jepang sudah tersedia.

“Vaksin sudah dibuat dan warga dunia tengah divaksinasi. Risiko infeksi virus corona bisa berkurang,” tandas Pound yang mengisyaratkan nasib Olimpiade Tokyo akan diumumkan sekitar Mei.

Jika dibandingkan saat Olimpiade Tokyo 1964, struktur masyarakat` Jepang saat ini memang berbeda dengan publik Jepang ketika Olimpiade tersebut. Saat itu Olimpiade dianggap sebagai kesempatan membangkitkan kebanggaan nasional setelah merasa masih terpuruk selama 20 tahun akibat kalah Perang Dunia Kedua.

Saat itu, seperempat penduduk Jepang berusia muda dan segelintir saja yang berusia di atas 65 tahun sehingga Olimpiade terlihat lebih emosional dibandingkan sekarang.

Olimpiade 1964 juga menjadi penegas untuk bangkitnya Jepang yang perekonomiannya saat itu menduduki keempat terbesar di dunia. Empat tahun setelah Olimpiade 1964 ekonomi Jepang menjadi yang terbesar kedua di dunia di bawah AS sebelum disalip China.

Sebaliknya sekarang, penduduk Jepang umumnya berusia lanjut yang relatif tidak terlalu membutuhkan Olimpiade untuk mengangkat posisi negaranya yang memang sudah tinggi.

Tetapi opini publik itu ternyata berbeda dengan pandangan kalangan bisnis yang menurut jajak pendapat NHK belum lama ini 60 persen perusahaan Jepang mendukung Olimpiade digelar tahun ini. Mereka mungkin sudah menaksir dampak positif Olimpiade terhadap perekonomian yang biasanya memang besar, apalagi saat masa sulit seperti sekarang, paling tidak mengangkat sentimen positif.

Yang tak kalah penting, selain yang utama demi dunia olah raga itu sendiri, Olimpiade Tokyo bisa menjadi simbol kemenangan amat manusia dalam mengakhiri pandemi.

Baca juga: Presiden IOC tegaskan komitmen tetap gelar Olimpiade Tokyo
Baca juga: Panitia Tokyo 2020 bilang nasib Olimpiade kini ada di tangan AS

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2021