Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen AHU Kemenkumham) Cahyo R Muzhar meminta perusahaan raksasa Airbus memenuhi kompensasi melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) kepada negara-negara korban penyuapan.

"Penyuapan itu sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pengadaan barang dan jasa, sehingga hasil keputusan menjadi tidak objektif dan merugikan negara," ujar Cahyo dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Untuk diketahui, kasus Airbus menyuap pejabat di sejumlah negara termasuk Indonesia menjadi salah satu skandal terbesar belakangan ini.

Peristiwa itu juga melibatkan maskapai penerbangan di negara/yurisdiksi selain Indonesia, seperti di Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan.

Baca juga: Pemerintah upayakan ada kompensasi atas kasus dugaan suap Airbus

Airbus telah mengakui perbuatan suap tersebut, dan dalam kasus itu, Airbus diwajibkan membayar penalti sejumlah 991 juta euro kepada Serious Fraud Office (SFO) Inggris melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA).

DPA merupakan konsep perjanjian penangguhan penuntutan dalam perkara pidana yang lazim digunakan di sejumlah negara penganut sistem hukum common law seperti Inggris dan Amerika Serikat.

DPA adalah salah satu tindak penyelesaian perkara pidana di sektor bisnis dengan menggunakan pendekatan analisis ekonomi.

Tujuan DPA adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan korporasi tertentu melalui penalti keuangan yang cukup signifikan.

Namun, menurut Cahyo, sejumlah kesepakatan DPA itu seringkali belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan, sebagaimana DPA antara Airbus dengan SFO Inggris yang belum memperhitungkan peran negara-negara korban yang membantu penyidikan SFO hingga berhasil menguak skandal itu.

Padahal, kata dia, dalam DPA Code of Practice pada bagian Terms, langkah-langkah untuk mengembalikan ganti rugi bagi korban sangat dikedepankan oleh SFO, seperti pembayaran kompensasi.

Pembayaran kompensasi korban dalam kasus korupsi atau suap terdapat dalam pasal-pasal pada DPA, di mana perseroan (pelaku) memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi kepada negara korban, mengembalikan setiap keuntungan dari tindak pidana korupsi, membayar biaya perkara termasuk jaksa, dan perusahaan harus ikut ambil bagian dalam proses investigasi.

Jika menelisik United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), konvensi juga mewajibkan negara pihak untuk memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk penyuapan.

UNCAC adalah Konvensi PBB Anti-Korupsi yang merupakan instrumen antikorupsi internasional pertama yang mengikat secara hukum.

Sementara itu, dalam kasus penyuapan Airbus yang diselesaikan dengan mekanisme DPA, sejumlah negara korban telah mempertanyakan kompensasi tersebut.

Baca juga: Garuda tunda kedatangan pesawat Airbus dan Boeing tahun ini

Cahyo mengatakan salah satu yang mempertanyakan adalah Transparansi Internasional Sri Lanka, yang mempertanyakan kelanjutan dari investigasi kepada SFO Inggris terkait kasus suap Airbus karena tidak memasukkan kompensasi kepada negara-negara korban lainnya sebagai bagian dari persyaratan DPA yang dibuat dengan Airbus.

"Dalam surat yang telah dikirimkan oleh Transparansi Internasional Sri Lanka, seperti dikutip newsfirst.lk, Sri Lanka meminta kompensasi untuk negara korban penyuapan di luar Inggris. Surat itu menyebut korupsi telah menimbulkan kerugian ekonomi yang serius bagi negara korban," kata Cahyo.

Airbus diketahui menyuap direktur dan karyawan maskapai SriLankan Airlines (SriLankan) sebesar 16,84 juta dolar AS melalui perusahaan milik istri mantan CEO SriLankan Kapila Chandrasena, Priyanka Niyomali Wijenayaka, di Brunei.

Dirjen AHU Kemenkumham RI itu meminta hak kompensasi bagi Indonesia sebagai korban dalam kasus suap terhadap pejabat asing (bribery of foreign officials) itu seharusnya dipenuhi juga.

“Kasus skandal suap tersebut juga sangat merugikan Indonesia dan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Skandal suap tersebut telah mendorong pengambilan keputusan yang tidak tepat dan merugikan dalam proses pengadaan pesawat,” kata Cahyo.

Baca juga: Ribuan pekerja Airbus di Spanyol memprotes rencana PHK
Baca juga: AS tetap terapkan bea masuk 15% untuk pesawat Airbus dari Eropa

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020