Wamena (ANTARA) - Sekitar 47 anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang hendak melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan masyarakat di Wilayah Adat Lapago, tertahan di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, sebab tidak bisa keluar dari kawasan bandara itu.

Anggota MRP Engelbertus Kasipmabin di Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, Minggu, mengatakan setelah beberapa orang berdemonstrasi menolak kedatangan mereka, mereka tidak bisa keluar dari Bandara Wamena sejak pagi hingga sore hari.

"Kasit Intel dua kali datang ketemu saya. Saya bilang bapak koordinasi dengan pihak demonstran supaya kami bisa bicara, tetapi tidak difasilitasi," katanya.

Ia menilai situasi itu sudah direncanakan sedemikian rupa oleh beberapa oknum yang memang tidak menghendaki mereka datang ke wilayah Lapago.

Baca juga: Sejumlah Warga tolak kedatangan Anggota MRP di Jayawijaya
Baca juga: Masyarakat Jayawijaya minta MRP-DPRP terbuka terkait kegagalan otsus
Baca juga: Sekretaris Panitia MRP imbau warga jangan terpengaruh isu perpecahan


"Saya menilai ini sudah dengan sengaja strukturnya diatur sedemikian rupa sehingga kami tidak boleh melakukan kegiatan di sini," katanya.

MRP menilai sekelompok masyarakat yang mendatangi Bandara Wamena dan menolak kedatangan mereka hanya ikut-ikutan.

"Saya pikir mereka (warga yang datang ke bandara untuk menolak kedatangan anggota MRP) ini dipakai (dimanfaatkan oleh okum tertentu) saja," katanya.

MRP akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jayapura untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang lebih parah, sebab kelompok yang berpihak kepada MRP juga telah bersiap-siap untuk datang lokasi dan menantang kelompok yang melarang kedatangan anggota MRP.

"Kami punya masyarakat siap datang, tetapi kami bilang jangan karena kalau masyarakat kita yang datang, mereka berkelahi, aparat mau duduk nonton atau nanti memihak kepada siapa. Situasi ini kami lihat tidak bagus makanya saya putuskan untuk pulang," katanya.

Ia mengatakan dari sejumlah warga yang datang dan melarang keberadaan mereka, ada yang merupakan anggota DPRD, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) maupun oknum kepala kampung.

"Mereka ini termasuk unsur pemerintah. Masa kita sesama pemerintah kok demo. Mereka bekerja untuk lembaga negara, kami juga," katanya.

Pewarta: Marius Frisson Yewun
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020