New York (ANTARA News) - Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44 mungkin menjadi figur utama dunia saat ini, bukan saja karena dia presiden negara adidaya, tetapi juga menempati posisi tersendiri dalam catatan sejarah dunia.

Mengawali karir politik dari aktivis sosial (community organizer), senator negara bagian, menjadi senator AS, kemudian tiba-tiba mengalahkan para calon presiden lain yang lebih senior darinya, termasuk John McCain dan sesama calon Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Tapi barangkali yang teristimewa darinya adalah kepribadiannya, yang bagi saya, sangat unik. Lahir dari pasangan ayah non Amerika berkewarganegaraan Kenya dan ibu keturunan Irlandia, menjadikan Obama seorang yang unik, seorang yang bisa bangga mewakili manusia tanpa batas ras.

Dia sendiri dibanggakan warga kulit hitam sebagai Afro-Amerika, dan dia tak menolak itu karena pribadinya memang selalu ingin berdiri untuk kaum dhu'afa.

Warga kulit hitam AS masih dikategorikan warga yang termarjinalikan dan ketika Obama menjadi Presiden AS, maka itu dianggap sebagai simbol "empowerment" (penguatan) mereka yang selama ini dipandang sebagai elemen masyarakat yang lemah.

Sebagian kalangan bahkan menafsirkan kemenangannya sebagai "realisasi mimpi" Dr. Martin Luther, pejuang hak-hak sipil AS.

Bagi saya sendiri, keunikan Obama sama sekali bukan pada warna kulit dan posisinya sebagai presiden negara terkuat dunia. Itu justru terletak pada pemikiran dan sikap politiknya selama kampanye, dan rencana-rencana kebijakannya menuju Gedung Putih.

Sayangnya kebijakan-kebijakan itu tak semudah bayangan khalayak ramai. Sebuah kebijakan perlu melalui "pintu-pintu ketat politis" di Kongres dan Senat, sebelum disahkan menjadi kebijakan oleh Presiden.

Diantara pemikiran dan sikap politik unik Obama adalah:

Pertama, salah seorang yang sejak awal menentang Perang Irak oleh Presiden George Bush adalah Senator Illinois, Barack Obama. Sebagai ahli hukum internasional dari Universitas Harvard, Obama sadar betul bahwa apa yang dilakukan Presiden Amerika saat itu ilegal dan bertentangan dengan norma-norma kesepakatan internasional. Oleh karena itu, dia menentangnya dan menjadikannya sebagai salah satu tema utama kampanyenya.

Langkah penting lainnya adalah menarik tentara AS dari Irak dalam beberapa bulan ke depan. Bagi saya, ini adalah bagian dari sikap bertangggungjawabnya yang tak ingin meninggalkan Irak begitu saja dan membuat Amerika dicatat sejarah sebagai tidak bertanggungjawab.

Sikapnya di Irak ini jauh lebih baik ketimbang sikap politik pendahulunya dari kubu Republik.

Kekerasan dan pembunuhan serta sejenisnya, memang masih saja terjadi, namun itu sudah jauh menurun, bahkan beberapa hari lalu rakyat Irak bisa melangsungkan pemilu yang secara umum sangat sukses.

Tutup Guantanamo

Kedua, sehari setelah dilantik sebagai presiden, Obama langsung menandatangani perintah menutup penjara Guantanamo, yang telah menjadi saksi sejarah hitam AS bahwa negara ini telah melanggar HAM, padahal selama ini AS dianggap pejuang HAM.

Walaupun perintah penutupan Guantanamo belum sepenuhnya terwujud karena menghadapi kendala teknis, seperti penempatan ratusan penghuni penjara yang masih menunggu pengadilan dan upaya-upaya lawan politik Obama yang akan menjegal rencananya itu.

Tapi dengan keberanian dan ketegasan Obama dalam menutup fasilitas itu adalah langkah yang patut dipuji.

Ketiga, ini mungkin yang paling penting untuk ketahui orang, di hari kedua pemerintahannya, Obama langsung berkomunikasi dengan kedua pemimpin Israel dan Palestina dalam mencari solusi konflik Timur Tengah. Bahkan dia menindaklanjuti itu dengan langsung mengangkat seorang senator sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah.

Bagi saya pribadi, di tengah gelombang perang Irak dan Afganistan, Barack Obama memberikan perhatian khusus kepada konflik Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina.

Barack sadar sepenuhnya bahwa konflik Palestina-Israel itu adalah kanker yang menggerogoti dunia. Jika konflik itu diselesaikan, sudah pasti kekisruhan-kekisruhan dunia bisa diselesaikan.

Yang paling menarik bagi saya adalah kenyataan bahwa Barack Obama "berani" memposisikan diri sebagai "mediator" yang tidak memihak. Setidaknya, ini terlihat dari berbagai pernyataannya yang cenderung tidak "menyalahkan" Palestina seperti para pendahulunya. Di sisi lain, dia melemparkan pernyataan keras kepada Israel, padahal, kita tahu, bagi presiden AS, mengeritik Israel sama dengan "bunuh diri politik."

Keempat, menyadari selama beberapa tahun terakhir Amerika dikritik keras dalam soal HAM, terutama pada kasus penyiksaan tahanan tersangka terorisme, Barack Obama dengan tegas melarang semua bentuk penyiksaan, termasuk water boarding (melelapkan muka tahanan ke air) seperti pernah dialami Sheikh Khalid Mohammed, perancang serangan teroris ke WTC.

Bagi saya pribadi, ini sebuah visi sekaligus komitmen besar. Di saat Amerika merasa terancam oleh apa yang disebut "American haters" (sentimen kebencian terhadap Amerika), Barack justru teguh pada batasan-batasan hukum, tak seperti pendahulunya yang kadang mengiraukan dan melanggarnya demi alasan keamanan nasional.

Peduli kaum dhua`fa

Kelima, di bidang ekonomi Barack Obama telah banyak mencoba memodifikasi berbagai aturan yang memihak kaum lemah. Program bail out sebenarnya untuk menyelamatkan para pekerja dari pemutusan hubungan kerja besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan AS.

Langkah itu harus dilihat sebagai bagian dari kepeduliannya pada kaum dhu'afa yang adalah bagian dari "tabiat pribadi" Barack Obama yang pernah menyelami kehidupan kaum dhu'afa.

Contoh lain adalah beberapa peraturan yang jelas sekali memihak pengguna kartu kredit yang biasa dicekik utang perusahaan kredit.

Beberapa peraturan terakhir yang diprakarsainya telah memaksa perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit memodifikasi usahanya sehingga tidak lagi membebani para pelanggan.

Tapi, upaya terbesar yang menjadi prioritas utamanya adalah reformasi perlindungan kesehatan (healthcare) yang mati-matian ditentang kubu Republik.

Saya menilai, penentangan Republik tidak dilandasi oleh kepentingan khalayak ramai, tapi lebih kepada upaya menjegal program prioritas Obama.

Dan sudah tentu tujuan akhir dari itu adalah menjatuhkan kredibilitas Barack di depan publik, yang ujung-ujungnya membuat rakyat Amerika tidak lagi memilihnya untuk priode keduanya nanti.

Keenam, Barack Obama memiliki komitmen demokrasi dengan menjunjung tinggi kemajemukan manusia. Dengan sadar dan sama sekali tidak canggung, Obama "berbicara langsung" dengan berbagai kalangan, termasuk dunia Islam.

Pesan-pesan yang disampaikannya di Kairo, Mesir, beberapa waktu lalu adalah wujud kesadarannya mengenai dunia yang saling tergantung (interdependen).

Barack Obama sadar bahwa tak ada satu pun bangsa atau negara, termasuk negara adidaya Amerika, hidup tanpa bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.

Sikap dan kebijakan Obama ini, bagi saya pribadi, sangat bertentangan dengan sikap pendahulunya yang melemparkan slogan "With us or against us" (menjadi kawan atau lawan).

Selain itu, Obama sangat santun mengeritik lawan-lawan politiknya, terhadap Presiden Iran sekalipun.

Barack tetap memakai bahasa santun ketika mengkritisi sikap Presiden Ahmadinejad yang bersikukuh mengembangkan energi nuklir di negaranya. Itu berbeda dari George W. Bush yang melabeli Iran dengan predikat "uncivilized" (tak beradab), termasuk mengistilahkannya masuk Poros Kejahatan (Evil Axis).

Kunjungan ke Indonesia

Pertengahan Maret ini, Presiden Barack Obama akan mengunjungi Indonesia, sebelum menandangi Australia. Sebagaimana biasa, rencana ini disikapi berbeda oleh masyarakat Indonesia. Tentu, berbeda pandangan adalah hal baik.

Saya yakin Barack Obama sendiri akan senang dengan adanya perbedaan pandangan pada masyarakat karena itu adalah gambaran kebebasan berfikir dan demokrasi.

Akan tetapi, seandainya saya ditanya 'Apakah kunjungan Barack Obama ke Indonesia harus mendapat sambutan atau penolakan', dengan tegas saya katakan 'harus diterima dengan penerimaan yang terhormat.'

Alasannya sangat sederhana, jika Barack Obama yang memimpin negara terkuat dunia saja ingin membangun hubungan yang baik dan sejajar dengan dunia lain, hampir dalam segala skala kehidupan -dari pendidikan, ekonomi, hingga kekuatan militer-, mengapa Indonesia tidak menggunakan momentum itu untuk membangun hubungan yang sejajar dengan Amerika?

Kalaupun ada yang melihat bahwa pemerintahan Amerika sekarang belum maksimal mewujudkan harapan banyak orang di berbagai belahan dunia, seharusnya itu dilihat secara bijak, dalam arti sebuah kebijakan politik di negara demokrasi tidak ditentukan oleh pribadi.

Barack Obama bukan raja, bukan pula diktator. Dia adalah seorang presiden yang dikelilingi banyak kepentingan. Dalam menentukan sikap, dia tentu punya pertimbangan politis yang didasarkan kepada kemaslahatan mayoritas dan demi kepentingan jangka panjang.

Kalaulah Barack Obama bisa memaksakan kehendak, maka sudah pasti dia akan memaksa Israel menghentikan pembangunan pemukiman di daerah Palestina. Secara politis, Barack telah mengingatkan Israel akan aktivitas ilegalnya di daerah Palestina.

Akhirnya, saya ingin mengatakan, masanya umat ini berintrospeksi akan masa-masa lalu, sekaligus membuka mata lebar-lebar dan memandang jauh ke depan.

Apa sih yang bisa dihasilkan dari sikap reaksional dan emosional yang sebelum ini cenderung mengemuka? Tidakkah lebih baik jika kepemimpinan Barack Obama yang notabene sangat menghormati keragaman, memihaki kaum dhu'afa, dan berusaha seimbang menyikapi berbagai konflik di dunia, minimal dari sikap pribadinya, kita tangkap dan jadikan momen baik guna merangkul Amerika, lalu berusaha memberikan masukan-masukan konstruktif ke depan?

Adalah lebih baik jika Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, menempatkan diri sebagai 'pemain yang efektif' dalam upaya-upaya resolusi konflik dunia?

Jangan sampai penentangan terhadap kunjungan Obama itu sebagai wujud kefrustasian, pesimistis, apatis dan sikap menyalahkan, karena umat yang sehat adalah umat yang selalu positif, visioner, optimis dan menyelesaikan persoalan.

Saya yakin, umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang selalu mengedepankan pandangan positif. Dan terpenting, meneropong jauh ke depan perjuangan umat dalam rangka membangun dunia yang lebih bermartabat. Semoga!

(Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center, Imam pada Islamic Center New York dan pengurus Masjid Indonesia di Amerika Serikat)

editor: jafar sidik

Oleh M. Syamsi Ali
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010