Depok (ANTARA News) - Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Tolak Badan Hukum Pendidikan (BHP) mendeklarasikan bahwa kelompok mereka mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyetujui judicial review UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP, di Kampus UI Depok, Selasa.

Aliansi yang didirikan pada tahun 2009 ini, sebelumnya telah mengajukan judicial review kepada MK. Dalam minggu keempat bulan Februari 2010, kemungkinan akan keluar keputusan MK, apakah akan menerima atau menolak judicial review tersebut.

Menurut Ketua BEM UI sekaligus anggota aliansi Imaduddin Abdullah, kemungkinan besar keputusan MK berkaitan dengan diterima atau tidaknya judicial review tersebut baru akan keluar minggu depan. Namun, pihaknya tidak mengetahui tanggal pasti keluarnya keputusan MK tersebut.

"Kami tetap tidak setuju BHP diaplikasikan pada setiap institusi pendidikan sebab mengarah pada praktik komersialisasi pendidikan," kata anggota aliansi dan Pengacara Publik dari LBH Jakarta Alghifari Aqsa dalam Diskusi "Mengawal Judicial Review UU BHP", Selasa.

Praktik komersialisasi pendidikan ini, kata dia, bisa berbahaya bagi rakyat kecil. Sebabnya, sebelum institusi pendidikan berstatus BHP, masyarakat miskin sudah mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan, apalagi setelah BHP diberlakukan.

Senada dengan Alghifari, anggota aliansi dan mahasiswa UI, Firza, mengatakan apabila ajuan judicial review ini ditolak, maka mereka akan melakukan perlawanan.

"Mungkin bentuk perlawanan ini bisa berupa merancang RUU tandingan yang bisa melawan privatisasi institusi pendidikan," ujar Firza.

Selain itu, aliansi tersebut sepakat menyatakan bahwa BHP adalah bentuk pengekangan demokrasi dalam pendidikan karena penyelenggaraan pendidikan tidak bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. BHP adalah bentuk ?lepas tangan? pemerintah.

"Oleh karena itu, kami mengajak teman-teman yang hadir di sini untuk turut serta dalam aksi yang akan digelar di depan Gedung MK tanggal 18 Februari mendatang untuk mendesak MK menyetujui judicial review terhadap UU BHP," kata Imaduddin Abdullah, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Menengok Sejarah Pendidikan

Dalam diskusi yang Dosen Fisip UI Jemi Irwansyah, disebutkan bahwa perjuangan untuk menghapuskan UU BHP bukanlah yang mudah untuk dilakukan.

Jemi Irwansyah menyebutkan, sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah membuktikan hal tersebut, bahwa mengubah sistem agar lebi pro-rakyat kecil adalah hal yang sulit dilakukan.

"Sekarang ini pergerakan mahasiswa untuk menentang BHP akan sia-sia saja jika tidak mengingat sejarah tentang penyelenggaraan pendidikan. Kasus-kasus serupa BHP, pernah terjadi di masa lalu. Kita harus jeli melihatnya," pungkas Jemi Irwansyah.

Jemi Irwansyah pun mengingatkan audiens pada perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam menentang sistem yang diberlakukan saat itu. Pada zaman sekarang, dengan masalah yang hampir sama namun berbeda tantangan, Jemi mengajak para aktivis penentang BHP untk juga menghitung jumlah anak miskin di Indonesia lalu dibandingkan dengan kursi yang mungkin mereka bisa dapatkan di institusi pendidikan.

"Memang ada perarturan bahwa perguruan tinggi harus memberika 20 persen kursi bagi orang-orang miskin. Nah, pertanyaannya berapa banyak orang miskin di Indonesia? Apakah persentase itu cukup untuk membuktikan bahwa institusi pendidikan menaruh perhatian pada rakyat miskin?" tutur Jemi.

Imaduddin pun menyetuhui perkataan Jemi Irwansyah. "Sejauh ini, sejak zaman sebelum Indonesia merdeka bahkan, tidak ada pembangunan yang signifikan dalam dunia pendidikan. Sejak merdeka, tetap tidak ada pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia," ungkap Imaduddin.

Selain itu,hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat luas harus ikut serta dalam mendukung pencabutan UU BHP ini. Aliansi tersebut akan turun ke masyarakat untuk memberikan pengertian tentang ancaman yang mengintai di balik UU BHP. (PPS/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010