Jakarta (ANTARA) - Kini permukaan bumi di wilayah tropis bagai mayat hidup. Wajahnya memucat menahan beban manusia. Belahan bumi tropis yang semula hijau oleh vegetasi dan tanahnya hitam oleh bahan organik kini memerah dan memutih: pucat. Vegetasi hilang berganti bangunan berlapis beton dan aspal, sementara tanahnya tergerus erosi.

Wajah bumi bagian tropis yang memucat itu layak didiskusikan pada hari ini, 5 Desember 2019, kala kita semua memperingati Hari Tanah Sedunia atau World Soil Day.

Sejatinya wajah bumi sejak jutaan tahun silam memang terus berubah dari bentukan alam satu ke bentukan alam lain. Daerah yang semula laut dalam, berubah menjadi gunung. Begitu pula sebaliknya setelah melalui proses berjuta-juta tahun. Letusan gunung api, pergerakan lempeng bumi, dan gempa bumi yang menyertainya merubah wajah bumi dari dalam.

Sementara gerusan air, ombak, es, dan angin mengubah dari luar. Wajah bumi terus berubah menuju keseimbangan-keseimbangan baru seiring waktu sebagai keniscayaan.

Persoalan muncul ketika bumi harus menopang manusia yang hidup di atasnya. Permukaan bumi yang kemudian disebut tanah harus menyediakan pangan, papan, dan sandang untuk manusia. Tanah bahkan secara tidak langsung harus menyediakan oksigen untuk manusia dengan menumbuhkan vegetasi di atasnya.

Baca juga: Pakar: tanah di Indonesia 70 persen tidak subur

Tentu hanya tanah berkualitas yang mampu menopang sejumlah tugas besar itu. Sejarah membuktikan tragedi-tragedi besar pertumpahan darah umat manusia berawal dari perebutan sumberdaya tanah berkualitas.

Lembah Sungai Nil yang subur menjadi saksi perebutan kekuasaan kerajaan kuno masa lalu hingga negara modern saat ini. Pun penemuan Benua Amerika hingga kolonialisme Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika juga merupakan upaya mencari tanah subur.

Di masa itu tanah subur merupakan aset penting sebuah bangsa dan peradaban sehingga diperebutkan berdarah-darah.

Kini ketika era agraris beralih menjadi era industri dan informasi teknologi, manusia lupa dengan kebutuhan tanah berkualitas. Tanah subur disulap jadi bangunan. Tanah subur juga dikupas untuk menimbun lahan di wilayah lain yang menyisakan permukaan tanah yang memerah dan memucat.

Di daerah pegunungan dan perbukitan yang masih menjadi area pertanian tanaman semusim lebih tragis lagi. Praktek pertanian berlangsung ahistoris. Lahan berlereng terjal dan curam dibuka, punggung bukit juga ditanami meskipun perbukitan berada di areal dengan curah hujan tinggi. Bahkan rumput di permukaan tanah menjadi musuh petani sehingga dicabuti menyisakan permukaan tanah yang telanjang.

Pantas ketika air hujan menetes atau mengguyur, maka lapisan tanah bagian atas mudah terlepas terbawa air yang kemudian disebut erosi. Bahan organik yang berwarna hitam yang menjadi 'ruh' kehidupan tanah hilang tercuci. Tanah pun pucat pasi kehilangan ruh kehidupan.

Cacing tanah tak dapat lagi hidup sehingga tanah semakin keras. Tanah pucat indikator tanah sakit dan hampir mati karena tak lagi banyak jasad renik tanah yang mampu hidup untuk menyuburkan tanah.

Kini pada tanah pucat itu kehidupan manusia bergantung dan berharap bumi melahirkan pangan, papan, dan sandang. Pada tanah pucat itu manusia berharap air dan oksigen bersih. Manusia sejatinya tengah memperbudak dan memperkosa bumi tempatnya tinggal.

Dampaknya adalah biaya produksi pangan menjadi lebih mahal. Berapapun ton pupuk anorganik dibenamkan produksi tak juga beranjak naik. Produksi pun stagnan meskipun beragam teknologi dibenamkan.

Baca juga: FAO: sepertiga lapisan tanah dunia sudah rusak

Ujungnya adalah biaya produksi pangan melampaui harga jual yang terjangkau. Bertani memproduksi pangan massal tak lagi menguntungkan karena harga jual rendah. Pertanian hanya menguntungkan bila produk panen dibandrol harga berlipat dari saat ini.

Tentu hanya orang berpunya yang mampu menikmati pangan sehat berkualitas. Tragisnya harga pangan dari luar tropis akan semakin murah. Thailand dan Vietnam dengan teknologi budidaya dan pascapanen mampu membuat harga pangan massal tetap terjangkau.

Negeri Timur Tengah yang semula padang pasir gersang mulai menyusul menjadi produsen pertanian massal. Dengan memanen air tawar dari laut mereka mengairi tanah-tanah gurun di daerah subtropis yang lebih muda dari tanah tropis.
Sedikit demi sedikit wajah gurun yang semula gersang mulai menghijau. Buktikan saja dengan membuka Google Earth wilayah gurun dari masa ke masa.

Bila wajah tanah tropis bagai mayat pucat, sebaliknya wajah gurun semakin hidup karena kian hijau oleh vegetasi. Permukaannya juga menghitam oleh bertambahnya bahan organik. Oase hijau yang dulu sempit kini juga bertambah luas.

Bukan tak mungkin tanah tropis yang semula mampu memenuhi pangan sendiri akan semakin tergantung pada tanah-tanah subtropis yang mulai bergairah hidup. Impor pangan negeri tropis dari negeri subtropis akan semakin deras dan mengancam ketahanan pangan bangsa.

Hanya ada satu cara menghentikannya: jaga tanah subur bangsa ini. Stop erosi tanah lalu kembalikan kesuburan tanah dengan pertanian konservasi. Gunakan pupuk anorganik jika dan hanya jika dibarengi dengan pupuk organik. Hentikan pembangunan beton di atas tanah subur.

Pembangunan beton hanya dibolehkan bila lapisan tanah bagian atas yang subur dipindahkan ke tempat lain untuk menunjang kehidupan manusia.

Di sisi lain pastikan pula tanah muda subur di wilayah timur yang kering tidak beralih fungsi menjadi beton. Tanah di wilayah timur itu mirip karakteristiknya dengan lahan-lahan kering di wilayah subtropis yang mudah disulap menjadi lumbung pangan ketika air tersedia melimpah dengan hadirnya teknologi.

Selamat hari tanah sedunia. Stop soil erosion, save our future. Mari kita hidupkan kembali tanah tropis yang memucat.

*) Destika Cahyana SP MSc adalah mahasiswa S-3 Jurusan Tanah IPB, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, dan Ketua Forum Mahasiswa Balitbangtan Jawa Barat
 

Copyright © ANTARA 2019