Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan, sudah saatnya mereformasi keberadaan Direktorat Jenderal Bea Cukai melalui penggabungan Ditjen Bea Cukai dengan unit penerimaan keuangan negara lainnya dan terkoordinasi langsung di bawah presiden. "Yang harus direformasi adalah Departemen Keuangan dijadikan 5 unit organisasi," kata Noorsy di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, dari lima unit organisasi tersebut, salah satunya adalah menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan unit penerimaan keuangan negara lainnya menjadi satu dan langsung terkoordinasi di bawah presiden. Noorsy menggagas hal tersebut sejak 1998 terutama untuk tujuan pencegahan korupsi di bidang penerimaan negara. Terkait dengan makin suburnya pungutan liar (pungli) yang diduga terjadi di Ditjen Bea Cukai, Noorsy menilai, mesin pertumbuhan ekonomi di Indonesia membutuhkan oli atau pelicin. "Dan oli itu adalah suap atau pungli," katanya. Menurut dia, pungli menjadi formal dan legal saat negara menerapkan sistem tarif yang proporsional dan membayar gaji PNS dengan benar. Selain itu, menerapkan sanksi dan membangun budaya dan iklim kerja yang sehat. "Tanpa itu, suap atau pungli tidak bisa menjadi legal formal dan akhirnya menguntungkan pejabat secara orang per orang," katanya. Ia mengatakan, bila suap atau pungli menjadi penerimaan negara secara legal, maka nilainya menjadi pendukung pembiayaan APBN. Hal itu berarti akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Pungli bila dibiarkan tumbuh secara ilegal, katanya, akan menimbulkan dampak berantai yang panjang di antaranya makin menurunnya kemampuan belanja pemerintah, berkurangnya penerimaan BUMN, dan mahalnya harga akhir di tingkat pemakai karena pembayar pungli akan menjadikannya sebagai komponen biaya. "Sementara dampak lanjutan, masyarakat menjadi terbiasa munafik dan tidak jujur karena negara sendiri mengamputasi kemampuannya lewat kebijakan-kebijakan yang diterbitkannya," katanya. Sedangkan, bagi kalangan pengusaha agar tidak kemudian tercipta budaya menyuap, menurut Noorsy, yang dibutuhkan adalah kepastian kebijakan yang berdampak pada kepastian biaya. Noorsy berpendapat, suap atau pungli sebenarnya menunjukkan gambaran tidak pastinya biaya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008