Oleh Masuki M. Astro Surabaya (ANTARA News) - "Saya minta maaf ke bapak Presiden karena baru sekarang menulis surat. Keadaan saya sehat dan saya harapkan bapak Presiden juga sehat. Saya ingin pulang dari Liponsos dan saya minta uang untuk bisa keluar. Saya rindu Bapak Presiden". Ungkapan itu tertulis dalam surat Eris Prabowo, salah seorang dari penghuni Pondok Lingkungan Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu mereka tulis dalam rangka memeriahkan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan pada Selasa (20/5) lalu. Acara yang difasilitasi "Logos Institue" merupakan bagian dari terapi spiritual untuk orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Logos Institute yang dipimpin Syarif Thayib bersama sekitar 10 relawan yang juga praktisi terapi "Spiritual Emotional Freedom Technique" (SEFT) yang lebih dikenal dengan sebutan SEFTer mengadakan kegiatan menulis surat untuk keluarga dan presiden bagi para penghuni Liponsos. Sebelum disuruh menulis surat, mereka terlebih dahulu diterapi oleh para SEFTer dengan menggunakan metode ketuk. Terapi untuk kesehatan psikis dan fisik itu sudah dilaksanakan para SEFTer sejak beberapa bulan lalu secara periodik. Saat mereka mulai "nyambung", para SEFTer mengajak sekitar 30 orang pengidap penyakit psikis itu menulis surat untuk keluarganya dan kemudian dilanjutkan untuk presiden. Penulisan surat untuk presiden dipilih hanya sekitar 16 orang karena selebihnya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan untuk ukuran manusia normal. Di antara yang gagal itu, ada yang tidak menulis sama sekali, ada yang hanya mencorat coret kertas atau menulis hanya sekedar namanya sendiri. Meskipun tidak diarahkan untuk menyampaikan apa isi hati mereka, namun beberapa orang dalam suratnya menyampaikan ungkapan rindu kepada Presiden. Mereka adalah Eris Prabowo, Ninik, Didik Antoko dan Wiwik. Mereka juga meminta Presiden agar mengirimkan uang, agar mereka bisa pulang ke rumah. Dalam suratnya, Ninik yang menulis nama Presiden dengan "Susilo Bambang Budiono" berkata, "Saya minta hadiah uang pak untuk pulang. Saya rindu sama bapak Presiden". "Saya cuma memberitahu kepada Bapak Presiden, saya ada di sini, minta dijemput," demikian permintaan Heri Supriyanto. Lain lagi dengan perempuan yang mengaku bernama, Aneke Putri. Ia malah minta hadiah mobil dan rumah kepada Presiden. Tentu saja hal itu mengundang tawa para SEFTer maupun pegawai Liponsos. Rata-rata mereka mengungkapkan keinginan pribadinya. Surat yang ditulis Zaitun Sirhan, dan kemudian terpilih menjadi surat terbaik, mengingatkan agar Presiden hirau dengan penderitaan mereka. "Sebagai rakyat jelata, kami meminta bantuan Presiden, agar memberikan bantuan makanan, tempat tidur dan obat-obatan di Liponsos. Mohon bantuan segera Bapak Presiden," demikian permintaan Zaitun, yang mengaku berasal dari Singaraja, Bali itu. Perempuan yang mengaku memiliki satu anak ini seperti orang normal, namun demikian menurut salah seorang pengasuhnya, perempuan yang sudah dua tahun menghuni Liponsos itu mengidap penyakit, seperti dikejar-kejar orang. Perempuan kurus yang sering batuk-batuk itu meminta, agar para penghuninya bisa hidup dengan layak, bukan ditempatkan di barak-barak seperti saat ini. Sementara itu dalam surat untuk keluarga, rata-rata mereka menyampaikan permintaan agar dijemput di Liponsos. Meskipun pendek-pendek, mereka mengutarakan bahwa mereka tidak bisa pulang kalau tidak dijemput. Tidak mudah membuat penghuni Liponsos menuliskan curahan hatinya. Mereka bertingkah macam-macam. Berkali-kali meminta uang kepada panitia, termasuk kepada Presiden. Saat dinobatkan sebagai salah satu pemenang dalam lomba menulis surat itu, Eris meminta agar hadiah makanan ringan diganti dengan uang saja. Eris adalah juara kedua lomba menulis surat keluarga. Juara pertama lomba itu adalah Didik Antoko asal Surabaya. Sementara untuk menulis surat kepada Presiden, panitia memilih pemenang pertama Zaitun Sirhan disusul Eris Prabowo dan Ade Siregar. Zaitun yang mengaku masih keturunan Madura-Bali dan memiliki anak yang masih sekolah SMP di Singaraja itu menjadi juara pertama karena dinilai memiliki kepedulian sosial dengan mengusulkan perbaikan fasilitas di Liponsos. Syarif Thayib mengemukakan bahwa pihaknya menyelenggarakan kegiatan itu karena ingin menunjukkan bahwa para penghuni Liponsos juga bisa memberikan makna bagi bangsa ini. Mereka adalah bagian dari bangsa ini yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak, termasuk presiden. "Karena itu surat-surat yang mereka tulis ini akan kami kirimkan kepada presiden. Terserah, surat-surat itu dibaca oleh beliau atau tidak. Yang jelas tersirat dalam surat itu mereka juga minta perhatian," katanya. Selain itu, surat untuk keluarga yang memiliki alamat jelas juga akan dikirimkan lewat pos, sehingga mereka bisa dipulangkan. Selain merehabilitasi orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan --yang banyak berkeliaran di jalan-jalan sekitar Surabaya--, Liponsos juga menjadi tempat penampungan para gelandangan. Liponsos Keputih saat ini dihuni oleh lebih dari 660 orang, melampaui daya tampungnya yang hanya sekitar 250 orang. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Liponsos Keputih, Sri Supatmi sendiri mengakui bahwa pihaknya kesulitan untuk mengelola seluruh penghuni Liponsos, yang rata-rata mengalami problem sosial. "Kami juga kesulitan untuk mengisolasi pasien yang sudah diterapi karena barak di penampungan itu terbatas." Ia mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi masalah tersebut karena setiap hari selalu ada penghuni baru yang dikirim oleh polisi maupun Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Setiap hari ada 50 hingga 60 orang yang dikirim ke sini. Paling sedikit setiap hari ada 20 orang, sementara yang dikeluarkan karena alamatnya jelas atau dijemput keluarganya rata-rata hanya 15 hingga 20 orang," katanya. Menurut dia, salah satu cara untuk mengurangi jumlah orang-penghuni adalah dengan memulangkan mereka. Namun untuk itu tidak mudah karena diantara mereka banyak yang tidak tahu alamat atau keluarganya. "Mereka kalau ditanya alamat atau nama keluarganya selalu berubah-ubah, sehingga menyulitkan kami. Kalau yang agak normal masih bisa menyebut nama keluarganya kami bekerja sama dengan Dinas Kependudukan untuk memulangkan mereka," ujarnya. Menurut dia, di penampungan tersebut ada lima barak yang masing-masing berisi delapan kamar. Mereka umumnya tidur di lantai beralaskan karpet. Sementara untuk penghuni lanjut usia ditempatkan di ruang lebih kecil sebanyak delapan kamar yang masing-masing berisi dua orang. "Untuk kesehatan, mereka selalu diperiksa rutin dari Dinas Kesehatan atau Puskesmas setiap Sabtu dan untuk pemeriksaan kejiwaan dari rumah sakit jiwa yang diperiksa setiap hari Kamis," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008