Brisbane, (ANTARA News) - Memasuki 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun reformasi yang diperingati hari Selasa dan Rabu (20-21/5), kehidupan bangsa Indonesia masih diselimuti keprihatinan. Keprihatinan kolektif bangsa ini adalah perihal masalah kemiskinan yang mendera kehidupan lebih dari 37 juta jiwa rakyat. Jumlah kaum papa ini kini bahkan dikhawatirkan meningkat seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat berpendapatan rendah akibat melonjaknya harga-harga barang kebutuhan pokok sebagai dampak dari kenaikan harga minyak bumi dan pangan dunia. Di tengah situasi yang serba tak pasti serta kemiskinan akut yang membalut kehidupan banyak keluarga miskin ini, jumlah anak yang tidak bersekolah maupun yang putus sekolah pun dikhawatirkan ikut meningkat. Jauh sebelum merambatnya harga-harga sembilan bahan pokok dan ongkos transportasi sebagai dampak langsung dari rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, jumlah anak putus sekolah ini, menurut data Rumah Zakat Indonesia, sudah mencapai lebih dari 1,7 juta orang. Kondisi ini mengundang kekhawatiran banyak pihak, tidak terkecuali anak-anak bangsa yang kini jauh di negeri seberang. Di antara mereka itu adalah orang-orang Indonesia yang tinggal di Canberra dan Brisbane, Australia. Sekelompok anak muda Indonesia di Canberra yang tergabung dalam Kelompok "Mandalawangi" misalnya menyiapkan 100 beasiswa bagi para pelajar kurang mampu di Tanah Air dalam menyambut peringatan dua peristiwa bersejarah ini. Dr.Teddy Mantoro, ilmuwan Indonesia yang bekerja bagi Universitas Nasional Australia (ANU) dan salah seorang pegiat "Mandalawangi", mengatakan, penyaluran beasiswa itu diprioritaskan bagi anak-anak miskin, korban konflik, bencana alam, yatim piatu, dan yang tinggal di daerah-daerah terpencil. "Beasiswa ini hanya menanggung biaya sekolah dan akan diberikan multi-tahun hingga siswa yang bersangkutan lulus sekolah (berijazah). Prestasi sekolah tidak menjadi pertimbangan. Siswa yang tidak naik kelas akan tetap mendapat beasiswa," katanya. Para pegiat Mandalawangi di Canberra mengumpulkan dolar demi dolar untuk mendukung program beasiswanya, termasuk program beasiswa bagi 100 orang siswa SD, SMP,dan SMA dari keluarga kurang mampu ini, dengan berjualan makanan dan kartu telepon. Selain itu, ada sedikit dana hasil penyaluran zakat maal maupun donasi dari beberapa warga Canberra namun jumlahnya tidak besar. Hasil pengumpulan dana terbesar justru berasal dari penjualan berbagai jenis kartu telepon internasional, katanya. Sejak berdiri enam tahun lalu, pihaknya konsisten dengan upaya mandiri dari berjualan makanan dan kartu telepon untuk mendapatkan dana bagi kegiatan sosial organisasi. Para pegiat Mandalawangi menghindari cara meminta-minta baik kepada teman-teman Indonesia maupun lembaga-lembaga di Australia dalam mendapatkan dana, katanya. "Para tenaga penjual kartu telepon adalah sukarelawan dari berbagai latar belakang agama. Ada yang Muslim, Katolik, Kristen, dan Hindu. Yang jadi aktivis partai politik juga ada, tapi kita mencoba tidak membawa kotak-kotak pembeda tersebut untuk menghasilkan sesuatu yg kecil, tapi jalan terus," kata Teddy. Selama hampir enam tahun berjalan, terkumpul 36 orang sukarelawan Mandalawangi Canberra namun yang benar-benar aktif ada 16 orang. "Alumni perjual kartu telepon ini rata-rata adalah mahasiswa dan bekas mahasiswa Indonesia di Canberra yg telah menamatkan studi doktor (PhD/S3) dan magister (S2) mereka dari berbagai universitas di Canberra. Sejauh ini, pihaknya sudah menyalurkan beasiswa kepada 263 orang siswa dengan dana dari hasil kerja para pegiat yang bekerja secara ikhlas selama bertahun-tahun. Mereka itu antara lain berasal dari Aceh, Serui dan Wamena (Papua), Yogyakarta, Bogor, Nagari Paninggihan, dan Pangandaran. Dr.Teddy mengatakan, nilai uang 100 dolar Australia atau setara dengan lebih dari Rp800 ribu sangat berarti bagi seorang anak asuh karena dengan uang sebesar itu, biaya sekolahnya bisa tertutupi selama setahun. Terkait dengan program 100 beasiswa dalam rangka "100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun Reformasi" itu, ia mengatakan, pihaknya sudah meminta para pembeli kartu telepon melalui pegiat Mandalawangi ikut mengusulkan nama para calon penerima beasiswa. "Usul itu dapat dikirim ke alamat email scholarship@mandalawangi.com hingga tanggal 7 Juni 2008. Penerima beasiswa ini akan diumumkan pada tanggal 10 Juni 2008 dan pengiriman dana akan dilakukan pada akhir Juni 2008," katanya. Gerakan IISB Gerakan anak asuh juga dilakukan Perhimpunan Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane (IISB). Sejauh ini, paguyuban bagi warga Muslim Indonesia di ibukota negara bagian Queensland itu sudah memiliki 16 orang anak asuh yang tersebar di Yogyakarta, Malang, dan Manado. Untuk memperbesar dana sosial di kas organisasi, pengurus IISB menyelenggarakan kegiatan pentas seni dan bazar makanan di AHIMSA House, West End, Brisbane, 11 Mei lalu. Dari kegiatan yang dihadiri seratusan orang warga Indonesia dan beberapa warga Australia, Tionghoa Malaysia, Singapura, dan Muslim India ini, IISB berhasil menghimpun dana publik senilai 1.262,35 dolar Australia (sekitar Rp10,7 juta). Kegiatan pentas seni yang digagas para pengurus IISB yang rata-rata berusia 20-an tahun ini diisi dengan pertunjukan tari, paduan suara, baca puisi, dan konser musik pop Indonesia dan Barat. Mereka yang terlibat dalam acara itu berasal dari lintas usia dan status sosial mulai dari anak-anak dan mahasiswa hingga residen tetap Indonesia di kota Brisbane, termasuk Sesepuh Masyarakat Indonesia di Queensland, Iman Partorejdo dan istri. Iman Partoredjo tampil dengan biola dan kecapi tuanya untuk menarik hati para pengunjung supaya mau menyumbangkan sebagian uangnya bagi program sosial IISB bagi anak-anak putus sekolah dan yatim piatu di Tanah Air itu. Apa yang dilakukan komunitas Indonesia di Canberra dan Brisbane itu mencerminkan adanya solidaritas antarsesama anak bangsa. Di tengah kemiskinan yang mendera kehidupan puluhan juta jiwa rakyat, hadirnya kepekaan sosial di masyarakat Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Bupati Sragen, Untung Wiyono, mengatakan bangsa Indonesia jangan pernah berputus asa dan kehilangan optimismenya pada masa depan karena Tuhan telah menganugerahkan mereka negeri yang kaya raya dan tidak akan membuat mereka hidup miskin. "Optimisme kita sebagai bangsa harus kita bangun. Kita harus bangkit kembali. Kalau dulu para pendahulu kita berikrar merdeka atau mati, sekarang kita berjuang untuk sejajar dengan bangsa-bangsa lain atau (kita) mati," katanya. Untuk membangkitkan optimisme dan kemampuan bangsa menjawab berbagai persoalan pelik kebangsaan itu, kepekaan sosial sangat penting untuk disemai dan ditumbuh-kembangkan oleh seluruh komponen bangsa. Kemiskinan yang masih mendera kehidupan puluhan juta jiwa rakyat Indonesia akan dapat teratasi jika kepekaan sosial orang-orang kaya terhadap lingkungan sekitar mereka baik karena budaya Indonesia itu pada intinya adalah "gotong royong", kata Untung Wiyono. Mandalawangi di Canberra dan IISB di Brisbane telah melakukan sesuatu yang berarti sebagai wujud dari kepekaan sosial mereka guna ikut membantu menyelamatkan anak-anak bangsa yang kurang beruntung dari kehilangan masa depannya.(*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008