Jakarta (ANTARA) - Munculnya kembali wacana Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah romantisme masa lalu yang ingin mewujudkan stabilitas politik semu, menurut pakar politik Mochtar Pabottingi.

"Sebetulnya bisa dikatakan dalam terminologi politik atau pemikiran filsafat itu adalah ide fix, tidak memikirkan kenyataan yang ada di luar. Terpenjara suatu batasan tanpa melihat kondisi nyata di luar, ini tidak betul," ujar pakar politik itu, merujuk kepada ide bahwa GBHN adalah suatu hal yang progresif.

Berbicara dalam diskusi di Jakarta Pusat pada Rabu, dia mengatakan proses amendemen konstitusi untuk membuat GBHN kembali ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan menghabiskan energi positif yang harusnya bisa disalurkan untuk hal lain.

"Kita bersyukur dengan adanya pembangunan infrastruktur sudah berjalan, nanti kita masuk pembangunan SDM tanpa meninggalkan infrastruktur. Tapi kalau kita masih kembali kepada perdebatan politik, apalagi tarik tambang politik yang tidak ada habisnya, pasti ini terancam," tegasnya.

Ide GBHN, menurut Mochtar, adalah penipuan terhadap rakyat karena meninggalkan agenda nyata yang sudah dibicarakan bersama seperti Nawacita.

Baca juga: Pakar nilai wacana GBHN harus ditinjau dari apakah dibutuhkan rakyat

Baca juga: Lemhannas ingatkan wacana diberlakukan GBHN tak jadi komoditas politik

Baca juga: Pengamat sebut GBHN penting tentukan arah bangsa


Dia juga merujuk kepada terdapatnya rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), hingga pada dasarnya GBHN sebagai haluan negara sudah tidak dibutuhkan.

RPJPN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 tahun yang ditetapkan pada 2005 hingga 2025. Rencana pembangunan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007.

Sebelumnya, Kongres V PDI Perjuangan merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN dengan alasan diperlukan haluan negara yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019