Jakarta (ANTARA) - Masih terkait dengan padamnya listrik hari Minggu (4/8), Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahi Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo berharap masyarakat bisa memahami kejadian tersebut sebagai kecelakaan yang juga pernah dialami di berbagai negara.

"Kejadian tersebut sebagai kecelakaan. Murni akibat masalah teknis transmisi, dan kondisi serupa juga pernah terjadi di berbagai negara," kata dia di Jakarta, Selasa

Ia menambahkan bahwa tidak semua bisa langsung hidup karena terkait dengan sistem, termasuk yang aliran listriknya dari PLTU.

"Saya tidak sependapat kalau hal ini dikaitkan dengan ketidakkompetenan PLN tanpa memahami kronologisnya dengan jelas. Yang saya lihat, PLN sudah terlihat melakukan gerak cepat untuk mengatasi keadaan,” ujarnya.

Baca juga: PLN bakal potong gaji karyawan untuk bayar kompensasi listrik padam

Kecelakaan tersebut, menurut Singgih, merupakan masalah teknis transmisi yang terjadi di Ungaran, Semarang. Ada gangguan aliran power dari Timur yang tidak bisa masuk ke Barat, sementara cadangan (reserve) di Barat tidak tinggi.

Oleh karena itu, tambahnya pembelajaran pertama dari kejadian ini adalah perlunya perbaikan sistem secara keseluruhan, dari hulu sampai hilir (dari pembangkit sampai ke pelanggan), baik dari sisi aksesbilitas maupun kapabilitas cadangan listrik.

Simpati lain ia tunjukkan dari sikap PLN yang menanggung sebagian besar beban (moral maupun material) dengan lapang dada. “Recovery untuk perbaikan sistem teknis memang ada di PLN," ujarnya.

"Tapi idealnya, dari sisi sistem manajemen krisis, regulator juga bicara agar tidak semua terbeban kepada PLN saja,” tambahnya.

Pengalaman yang sama

Senada dengan Singgih, Ketua CIGRE (Conseil International des Grands Reseaux Electriques = Dewan Internasional Sistem Listrik Besar) Indonesia Herman Darnel Ibrahim mengatakan, bahwa kejadian blackout atau gangguan besar seperti ini, sebenarnya juga pernah terjadi di mana-mana termasuk di negara maju.

Negara maju seperti Amerika Serikat juga beberapa kali mengalami blackout. Di New York tercatat tiga kejadian yaitu pada 13 Juli 1977, 14 Agt 2003 dan terakhir baru saja bulan lalu 14 Juli 2019.

“Jadi rata-rata periodenya 15 sampai 20 tahunan, “ lanjutnya.

Baca juga: PLN harus beri kompensasi pemadaman listrik sebesar Rp839 miliar

Pemulihan blackout New York pada tahun 2003, menurutnya, memerlukan waktu lebih 2 hari. Sementara kejadian terbaru pada 13 Juli 2019 lalu, juga baru pulih setelah 2 hari.

“California juga pernah mengalami blackout tahun 1996, 2011, 2018 dan 2019. Bahkan dalam kejadian blackout pada 2011 di negara itu, gubernurnya sampai mengatakan , "Even new cars can get breakdown,”

Begitu lazimnya kejadian ini, sehingga dalam konferensi CIGRE [Dewan Internasional Sistem Listrik Besar/Conseil International des Grands Reseaux Electriques] yang diselenggarakan tiap tahun genap, di Paris, jelas Herman, selalu ada Sesi Plenary khusus yang mempresentasikan kejadian Blackout /Large Disturbances yang terjadi di suatu negara.

Dalam sistem interkoneksi Jawa Bali, Herman yang pernah menjabat sebagai Direktur Transmisi dan Distribusi PLN periode 2003 hingga 2008 ini, mencatat setidaknya pernah terjadi 4 kali blackout.

Masing-masing pada tanggal 13 April 1997, 18 Agt 2005, 18 Maret 2009 dan terakhir 4 Agt 2019 kemarin. “Jadi kira-kira ’periode’nya sekali dalam 5 hingga 10 tahunan,” ujarnya.

Interkoneksi Jawa Bali memang membuat sistem menjadi kuat, namun dalam sistem buatan manusia tidak ada jaminan reliability yang 100%.

Ia menyebutkan, gangguan blackout umumnya diawali oleh gangguan dari luar, hubungan ke tanah atau lainnya. Gangguan juga bisa terkait dengan kelemahan dalam komponen sistem seperti kekurangan infrastruktur (N-1), asupan terkait setting proteksi, kontrol dan lain-lain.

Dalam kondisi itu, jika proteksi tak bekerja sempurna, gangguan potensial untuk meluas.

Untuk mengetahui akar penyebab blackout, menurut Herman lazimnya dan memang sudah seharusnya dilakukan investigasi yang melibatkan para ahli dari luar utility.

Seperti halnya dalam “crash investigation”, semua data recorders dan data peralatan dikumpulkan dan dianalisa oleh tim penyelidik yang dibentuk. Kemudian dibahas kemungkinan-kemungkinan penyebab, lalu disimpulkan penyebabnya; apakah karena kelemahan peralatan, defects pada komponen, kelemahan sistem proteksi atau setting-nya atau bisa juga faktor sumber daya manusia (human error).

Pada akhirnya Herman berpendapat, blackout itu sebuah musibah bagi utility, dan sudah menjadi SOP untuk mencegahnya supaya tidak terjadi.

Baca juga: Kementerian ESDM desak PLN beri kompensasi sesuai regulasi