KASN waspadai pelanggaran netralitas ASN terbesar dalam kebijakan
7 Agustus 2019 00:22 WIB
Diskusi publik "Refleksi Pemilu 2019 : Netralitas ASN dan Demorkasi Prosedural" di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2019) Hadir pula perwakilan dari KASN, BKN, dan Kemenpan-RB, serta PATTIRO. (ANTARA/Laily Rahmawaty)
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Pokja Pengkajian dan Pengembangan Sistem Komisioner Aparatur Sipil Negara (KASN) Nuraida Mokhsen mengatakan, sering kali pengawasan terhadap netralitas ASN dilakukan di permukaan saja, tetapi ada pelanggaran dari sisi kebijakan yang luput dari pantauan.
"Netralitas tidak hanya ikut soal politik, ngelike di medsos, pajang foto, sebetulnya jauh lebih luas dari itu yang luput dari pengawasan," kata Nuraida dalam diskusi publik bertajuk "Refleksi Pemilu 2019 : Netralitas ASN dan Kualitas Demokrasi Prosedural" di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Selasa.
Nuraida mengatakan, semasa dirinya menjadi Kepala BKD di daerah melihat prilaku-prilaku ASN yang melanggar kode etik dan kode prilaku atau netralitasnya mulai dari membuat keputusan dan program untuk mendukung calon yang direstuinya.
Ia menyebutkan, kepala daerah yang sudah dua periode menjabat walau sudah tidak bisa maju dalam pilkada lagi tapi bisa mendukung penggantinya dengan mengarahkan program-program untuk mendukung calon yang direstuinya.
Baca juga: Penegakan netralitas ASN pada Pemilu butuh keterlibatan publik
"Ini yang banyak tidak terlihat oleh pengawasan, kita fokusnya kepada orang yang pelanggaran kampanye di media sosial, hadiri kampanye atau ikut datang saat pendaftaran di KPU," kata mantan pejabat di Kepulauan Riau ini.
Ia mengatakan, persoalan pelanggaran netralitas ASN jauh lebih besar lagi dalam membuat keputusan dan program, seperti beasiswa, bantuan sosial, dan kebijakan.
Kalau membuat keputusan dan pelayanan publik masih bisa terlihat oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa langsung melaporkan kepada Ombudsman.
Yang paling berat adalah manajemen ASN, pengangkatan, pemutasi dan promosi. Biasanya setahun menjelang pilkada sudah mulai gonta-ganti kepala dinas, dan setelah pilkada akan ada non jabatan (nonjob) massal.
Baca juga: Bawaslu rekomendasikan kewenangan KASN diperluas hingga wilayah
"Ini pelanggaran yang berat, dan sering kali kita hanya melihat permukaan saja, netralitas dalam politik lain-lain lebih mengkhawatirkan," kata Nuraida.
Nuraida mengaku masih terus memantau politiasasi birokrasi tersebut. Banyak dari bawahanya yang masih menjadi pejabat mengadukan hal tersebut.
Pelanggaran lainnya seperti jual beli jabatan dan ujungnya korupsi, menggunakan kewenangan mengangkat, memindahkan dan mempromosikan kepala daerah, membolisiassi birokrasi terutama di daerah menjadi dipolitisir dalam mejalankan tugas-tugas mereka.
Ia mengatakan, banyak hal yang tidak bisa terungkap terkait netralitas ASN ini kecuali pengawas masuk ke dalam birokrasi untuk mengetahuinya.
Baca juga: Penegakan sanksi pelanggaran netralitas ASN masih lemah
"Anak buah saya masih banyak jadi pejabat di daerah mereka disuruh membiayai kampanye terselubung itu masih terjadi, mereka menyebut angkanya," kata Nuraida.
Tetapi, lanjut Nuraida, ketika dia mengajak untuk mengadu atau melaporkan hal itu agar bisa di proses oleh KASN mereka tidak mau karena takut berdampak bagi keluarga mereka, kerabat meraka, dan sebagainya.
"Jadi menurut saya pengawasan ini yang belum terpantau pengawas yang selama ini dilakukan hanya di permukaan saja," kata Nuraida.
"Netralitas tidak hanya ikut soal politik, ngelike di medsos, pajang foto, sebetulnya jauh lebih luas dari itu yang luput dari pengawasan," kata Nuraida dalam diskusi publik bertajuk "Refleksi Pemilu 2019 : Netralitas ASN dan Kualitas Demokrasi Prosedural" di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Selasa.
Nuraida mengatakan, semasa dirinya menjadi Kepala BKD di daerah melihat prilaku-prilaku ASN yang melanggar kode etik dan kode prilaku atau netralitasnya mulai dari membuat keputusan dan program untuk mendukung calon yang direstuinya.
Ia menyebutkan, kepala daerah yang sudah dua periode menjabat walau sudah tidak bisa maju dalam pilkada lagi tapi bisa mendukung penggantinya dengan mengarahkan program-program untuk mendukung calon yang direstuinya.
Baca juga: Penegakan netralitas ASN pada Pemilu butuh keterlibatan publik
"Ini yang banyak tidak terlihat oleh pengawasan, kita fokusnya kepada orang yang pelanggaran kampanye di media sosial, hadiri kampanye atau ikut datang saat pendaftaran di KPU," kata mantan pejabat di Kepulauan Riau ini.
Ia mengatakan, persoalan pelanggaran netralitas ASN jauh lebih besar lagi dalam membuat keputusan dan program, seperti beasiswa, bantuan sosial, dan kebijakan.
Kalau membuat keputusan dan pelayanan publik masih bisa terlihat oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa langsung melaporkan kepada Ombudsman.
Yang paling berat adalah manajemen ASN, pengangkatan, pemutasi dan promosi. Biasanya setahun menjelang pilkada sudah mulai gonta-ganti kepala dinas, dan setelah pilkada akan ada non jabatan (nonjob) massal.
Baca juga: Bawaslu rekomendasikan kewenangan KASN diperluas hingga wilayah
"Ini pelanggaran yang berat, dan sering kali kita hanya melihat permukaan saja, netralitas dalam politik lain-lain lebih mengkhawatirkan," kata Nuraida.
Nuraida mengaku masih terus memantau politiasasi birokrasi tersebut. Banyak dari bawahanya yang masih menjadi pejabat mengadukan hal tersebut.
Pelanggaran lainnya seperti jual beli jabatan dan ujungnya korupsi, menggunakan kewenangan mengangkat, memindahkan dan mempromosikan kepala daerah, membolisiassi birokrasi terutama di daerah menjadi dipolitisir dalam mejalankan tugas-tugas mereka.
Ia mengatakan, banyak hal yang tidak bisa terungkap terkait netralitas ASN ini kecuali pengawas masuk ke dalam birokrasi untuk mengetahuinya.
Baca juga: Penegakan sanksi pelanggaran netralitas ASN masih lemah
"Anak buah saya masih banyak jadi pejabat di daerah mereka disuruh membiayai kampanye terselubung itu masih terjadi, mereka menyebut angkanya," kata Nuraida.
Tetapi, lanjut Nuraida, ketika dia mengajak untuk mengadu atau melaporkan hal itu agar bisa di proses oleh KASN mereka tidak mau karena takut berdampak bagi keluarga mereka, kerabat meraka, dan sebagainya.
"Jadi menurut saya pengawasan ini yang belum terpantau pengawas yang selama ini dilakukan hanya di permukaan saja," kata Nuraida.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: