Jakarta (ANTARA News) - Belum lagi dampak krisis finansial global akibat kasus kredit perumahan AS (US Subprime mortgage) selesai ditangani, dunia dilanda membubungnya harga-harga pangan yang sangat membebani warga dunia dari berbagai negara berkembang di kawasan Afrika, Amerika Latin dan Asia. Setidaknya 36 negara, termasuk Indonesia, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, mengalami lonjakan harga pangan luar biasa yang berkisar antara 75 persen hingga 200 persen, sehingga negara-negara tersebut rentan terjadi gejolak sosial dan politik. Dalam penilaian Direktur Bank Dunia Rober Zoellick berdasarkan pada perkiraan kasar, "Kami memperkirakan bahwa lonjakan harga pangan hingga dua kali lipat sepanjang tiga tahun terakhir ini bisa mengakibatkan 100 juta rakyat di negara-negara miskin terjerumus pada kemiskinan yang jauh lebih dalam lagi." Laporan Bank Dunia pekan lalu menyebutkan harga gandum dunia melonjak 181 persen selama 36 bulan hingga Februari, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Sementara itu menurut data Bloomberg, di perdagangan dunia saat ini harga kedelai sudah naik rata-rata 87 persen, beras naik rata-rata 74 persen dan jagung naik rata-rata 31 persen dibanding tahun sebelumnya. Tak pelak lagi, harga bahan makanan pokok yang naik tajam dalam beberapa bulan terakhir ini memicu antrian warga miskin yang meningkat, seperti di negara terkaya Asia Tenggara Singapura, sampai dengan pecahnya protes unjuk rasa di banyak negara, seperti di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipina dan Indonesia. Yang paling gawat di Haiti, makanan pokoknya beras naik dua kali lipat dari harga 35 dolar AS menjadi 70 dolar AS untuk 60 kilogram beras, atau dari sekitar Rp5.450 per kilogram beras menjadi Rp10.750 per kilogram. Akibatnya, protes rakyat berlangsung panjang dan sedikitnya lima orang korban tewas dan sekitar 14 orang terluka dalam unjuk rasa itu. Warga Haiti pun menuntut pergantian pemerintahannya yang dianggap tidak becus menangani masalah pangan. Menurut Jacques Diouf, Dirjen FAO, risiko peningkatan ketidakstabilan sosial dan politik di negara-negara berkembang tak terelakkan, karena penduduknya banyak berpenghasilan rendah yang selama ini mengalokasikan lebih dari setengah penghasilannya untuk pangan. Karena itu, lonjakan harga pangan yang tak terperi serta kelangkaan pangan tentunya membuat kehidupannya semakin menderita. Masalah Biofuel Membubungnya harga pangan dunia, sebagian merupakan akibat banyak bahan pangan yang penggunaannya untuk bahan bakar organik (biofuel), yang dimaksudkan menjadi tren kesadaran lingkungan negara industri maju. Seperti jagung dan kelapa sawit, sebelumnya kedua pangan itu untuk konsumsi masyarakat dunia, namun saat ini banyak dijual untuk biofuel yang permintaannya tinggi. Produksi jagung di dunia dari 2004 - 2007, dalam catatan Bank Dunia, hampir seluruhnya digunakan untuk biofuel di AS. Kemudian perubahan iklim saat ini turut menyebabkan produksi pangan tidak optimal. Perubahan iklim ini terkait dengan banyaknya hutan tropis dibabat untuk membuka lahan perkebunan baru, seperti kelapa sawit atau jagung. Dalam masalah beras, lonjakan harganya terjadi karena ada aksi penimbunan meluas di pelbagai negara, termasuk tindakan negara surplus beras seperti Thailand dan Vietnam mengurangi ekspornya. Pada saat yang sama terjadi tren para spekulan yang tadinya bermain di lantai bursa efek dan pasar uang di AS, kini beralih ke pasar komoditi pangan, yang akibatnya banyak langkah spekulatif dalam transaksi dagangnya termasuk menahan stok. Tindakan itulah yang membuat harga pangan warga dunia itu terus melonjak "Di sini masalahnya adalah struktural. Ada pola perdagangan, dampak permintaan biofuel yang meningkat, suplai pangan berkurang serta perubahan lingkungan dan iklim,? kata Elizabeth Stuart, seorang penasihat senior lembaga swadaya masyarakat Oxfam International. Celakanya, harga pangan yang tinggi diprediksi bukanlah fenomena sementara.Bank Dunia menyatakan harga pangan tetap akan meningkat tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Kebijakan Pangan Baru Krisis pangan yang lebih membahayakan dari krisis finansial ini memaksa Bank Dunia mengeluarkan kebijakan baru dalam mengatasi pangan global, yang disebutnya "New Deal for Global Food Policy". Kebijakan itu bertujuan meningkatkan produktivitas sektor pertanian di negara-negara miskin agar mereka mampu mengatasi masalah pangan lokal. Caranya dengan memperbaiki akses para petani melalui pelatihan dan pengembangan, serta sedikit bantuan dana stimulan bagi petani membeli benih untuk musim tanam mendatang. Di bulan ini Bank Dunia menggandakan jumlah pinjaman di sektor pertanian di Afrika dari 450 juta dolar AS menjadi 800 juta dolar AS. Sedangkan di Haiti yang tengah bergejolak ada tambahan dana 10 juta dolar AS untuk program pangannya. Namun disadari bahwa institusi dunia (IMF dan Bank Dunia) tidak dapat mengatasi masalah itu sendirian dan memerlukan keterlibatan negara-negara industri kaya yang tegabung dalam G-7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang dan AS). "Kebutuhan keterlibatan kepemimpinan politik untuk memberikan lebih banyak dana dan bantuan langsung ke masalah krisis pangannya. Selain itu harus dicari solusi meniadakan dampak negatif dari proses pengalihan bahan pertanian untuk biofuel," kata penasihat senior Oxfam International. Bagi Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Dominic Straus-Kahn, keterlibatan dunia penting dalam upaya mengatasi krisis harga pangan dunia secara serius karena yang dipertaruhkan terlalu besar. termasuk kekuasaan negara-negara yang telah didorong menjadi demokratis. Lebih buruk lagi, mengutip pernyataan Menteri Bantuan Pembangunan Jerman Heidemarie Wieczorek-Zeul (Deutsche Welle), dunia sekarang ini sedang terancam bahaya kemiskinan global baru. (*)