Jakarta (ANTARA) - Analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai pertarungan memperebutkan kursi ketua MPR RI periode 2019-2024 akan sangat tergantung pada peta koalisi dan lobi partai yang mengusung nama-nama calon pada paket pemilihan pimpinan MPR RI.

"Pemilihan pimpinan MPR RI dengan sistem paket ini akan banyak diwarnai lobi dan kompromi tingkat tinggi dari partai-partai politik dalam menyusun nama-nama dalam paketnya," kata Pangi Syarwi Chaniago, di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Pengamat: Kursi Ketua MPR saat ini adalah "kursi panas"

Baca juga: PKB: KIK belum rapat sepakati kursi Ketua MPR

Baca juga: Pengamat: Ketua MPR hendaknya diisi figur politisi negarawan

Baca juga: Akademisi angkat bicara terkait negosiasi kursi MPR


Menurut Pangi Syarwi, dengan demikian maka pertarungan rebutan kursi ketua MPR RI ini sangat bergantung pada kekuatan koalisi partai pengusung paket pimpinan MPR RI, yang disesuaikan dengan instrumen tata tertib pemilihan.

Berdasarkan tata tertib, kata dia, paket pimpinan MPR RI berisi lima nama yakni satu ketua dan empat wakil. Paket pimpinan MPR RI berasal dari empat partai politik plus satu dari DPD.

Pangi memperkirakan, kemungkinan besar akan ada dua paket pimpinan MPR RI, misalnya paket A dan paket B, dan dari kedua paket tersebut masing-masing ada satu nama dari DPD.

"Itu artinya, partai-partai politik atau koalisi partai politik akan melakukan lobi dan kompromi untuk mendapatkan dukungan suara lebih banyak," katanya.

Menurut Pangi, ada beberapa nama yang mulai disebut-sebut akan diusulkan partainya untuk diusung menjadi ketua MPR dalam paket pimpinan MPR RI yakni, Ahmad Basarah (PDIP), Muhaimin Iskandar (PKB), Lodewijk Freidrich Paulus (Partai Golkar), Arsul Sani (PPP), dan Ahmad Muzani (Partai Gerindra Gerindra).

Paket pimpinan MPR RI akan dipilih setelah anggota DPR RI dilantik pada awal Oktober 2019, karena anggota MPR RI adalah anggota DPR RI plus anggota DPD RI.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini melihat, posisi dan fungsi MPR RI saat ini, tidak "powerfull" seperti pada era orde baru, di mana MPR RI adalah lembaga tertinggi negara. MPR RI saat itu memiliki kewenangan untuk memilih dan melantik presiden dan wakil presiden. MPR RI juga membuat dan mengawasi jalannya garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Setelah era reformasi, kata dia, UUD 1945 diamandemen menjadi UUD NKRI 1945, yang hasilnya sejumlah kewenangan dan fungsi MPR RI dipangkas. MPR RI menjadi lembaga tinggi negara, sejajar dengan beberapa lembaga tinggi negara yang lain.

Saat ini, kata dia, kewenagan MPR RI hanya melantik presiden dan wakil presiden, serta ditambah tugas harian melakukan sosialisasi empat pilar.

Dari pendekatan ini, kata dia, Ketua MPR RI sebetulnya bukan jabatan yang strategis, tidak perlu diperebutkan. "Namun, menjabat sebagai ketua MPR memiliki nilai tersendiri, status gengsi dan 'privilege' serta fasilitas negara yang melekat atas jabatan tersebut mulai dari rumah dan mobil dinas, voorijder dan keamanan serta fasilitas penunjang negara lainnya," katanya.

Menjadi ketua atau pimpinan MPR, kata dia, mestinya tidak hanya mengedepankan syahwat politik, tapi harus menyampaikan narasi serta sikap politik kenegaraan.