Oleh Bob Widyahartono M.A. *) Jakarta (ANTARA News) - Tahun lalu, tepatnya 20 Agustus 2007, setelah tim perunding Jepang dan Indonesia sejak awal tahun 2005 melakukan serangkaian lobi dan negosiasi secara teratur, maka dilakukan penandatanganan resmi Perjanjian Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement/EPA) oleh Shinzo Abe, Perdana Menteri (PM) Jepang, dan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, di Jakarta dalam rangka peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Dokumen tersebut setelah mengalami berbagai rincian yang lebih terkini secara lengkap, termasuk ketentuan mengenai DNI (Daftar Negatif Investasi) yang diselaraskan pemahaman oleh para negosiator Jepang dengan pihak Indonesia. Shinzo Abe, sejak akhir September 2007 diganti oleh Yasuo Fukuda sebagai PM dengan kabinet baru yang diharapkan dapat mengelindingkan implementasi EPA. Meskipun demikian, ada kekuatiran kabinet Fukuda sementara ini di dalam negerinya masih mengalami berbagai sorotan dan hambatan hambatan domestic. Karena itu, ratifikasi EPA tersebut baru akan dilakukan kedua belah pihak dalam waktu dekat ini, dan implementasinya mulai Agustus 2008, atau setahun setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut. Serangkaian unsur utama dalam EPA yang disepakati Jepang dan Indonesia, untuk awal langkah langkah implementasi mulai Agustus 2008 dengan diratifikasinya EPA itu oleh pihak Jepang dan Indonesia: 1. Perdagangan dalam barang: ketentuan tarif, non-tarif, ketentuan asal (trade in goods: tariffs and non-tariff measures, rules of origin trade remedies), 2. perdagangan dalam jasa (trade in services), 3. prosedir bea cukai (customs procedure), 4. investasi (investment), 5. fasilitasi bergeraknya sumber daya manusia (movement of natural persons), 6. sumber daya enersi dan mineral (energy and mineral resources), 7. hak cipta (Intelectual property right), 8. prosedur pembelian oleh pemerintah (Government procurement), 9. persaingan (competition), 10. perbaikan dalam lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis (improvement of business environment and promotion of business confidence); 11. kerjasama (cooperation). Serangkain dalam EPA dan rumusan detilnya rupa-rupanya lebih didominasi oleh para negosiator Jepang. Karena itu, pihak di bangsa ini harus mulai dari sekarang mempersiapkan diri dengan "rencana dan program aksi" dengan jadwal waktu yang realistik. Hal yang dimaksud pihak di negeri ini setepatnya adalah tim ekonomi birokrasi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan pengamat yang merinci dengan suatu ‘jadwal waktu, program kerja dengan anggaran kerja yang dikoordinasi oleh pihak Menteri Ekonomi. Kejelasan langkah langkah konkretnya sosialisasi justru makin perlu di daerah, karena pelaku bisnis justru di daerah yang memiliki atau berpotensi berperan dalam realisasi EPA. Tim kerja ini harus kompak dan tidak setiap kali berganti anggota. Dalam sebuah diskusi antara beberapa ekonom terungkap bahwa banyak di antaranya tidak pernah mendengar adanya rencana EPA Juga dari beberapa tukar pikiran berbagai manajemen menengah bisnis yang sudah ‘go internasional’ juga merasa tidak pernah diajak memahami adanya EPA. Kalaupun ada yang menyerap karena kebetulan membaca berita tentang kedatangan Shinzo Abe Agustus lalu yang tidak substansial menyoroti IJEPA di berbagai media Kalangan birokrasi dan pebisnis, terutama tingkatan manajemen menengah dengan dukungan pengamat sebagai "stake holders" perlu mempersiapkan diri dengan mensosialisasikan langkah langkah strategis yang substansial pada EPA yang didalamnya dirumuskan beberapa pokok realisasi FTA dengan melangkah maju dalam berbagai harmonisasi tariff. Dengan menengok kebelakang, EPA sudah lima tahun lalu diusulkan Jepang untuk ditelaah oleh pihak kita. Dalam dokumen METI Jepang (Desember 2002) dijelaskan juga gagasan FTA dengan ASEAN seiring dengan upaya mewujudkan jaringan kerja FTA satu per satu (one on one) dengan negara anggota Perhimpunam Asia Tenggara (ASEAN) dalam kerangka EPA. Lima tahun lalu, atas undangan khusus pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berbagai pihak menghadiri diskusi dengan Prof. Yoshino Fumio, dari Institute of World Affairs , Takushoku University dalam "FTA in East Asia : A Japanese Perspective" ( 30 Juni 2003), di LIPI Jakarta. (kebetulan sesi ini penulis sebagai pengamat /dosen diminta untuk bertindak sebagai moderator). Diuraikannya gagasan Jepang tentang EPA yang didalamnya FTA (Free Trade Agreement) dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing masing negara anggota ASEAN . Sangat disayangkan kemudian pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku bisnis yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif. Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami bahwa suatu FTA merupakan suatu kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan perdagangan antar mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen terhadap negara ketiga. Salah satu syaratnya: Suatu sistem sertifikasi orisinal (system of certificates of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan (trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota. Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas efisiensi alokasi sumber daya , dan dampak dinamis, dimana produktivitas yang lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan kepentingan kelompk ikut berperan dalam pembentukan FTA. Tujuan FTA adalah membentuk (establish) memperlancar perdagangan dan investasi, dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara cepat dan mantap karena alasan alasan yang tidak terbatas pada kedekatan secara geografis. Yang hendak digarap adalah kesertaan dalam pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak. Hal yamh dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagngan berarti perluasan perdagangan yang biasanya dilakukan antara pihak pihak yang bersangkutan, menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara lebih murah, dan di pihak produsen negara pengekspor mempeorleh laba sebagai hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoretik kedua kemakmuran kedua negara FTA makin membaik (improving the economic welfare). Sebaliknya, hendaknya bangsa ini tidak lupa bahwa peniadaan hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi Indonesia. Selain itu, dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui tahapan peningkatan produktivitas dan akumulasi modal, keduanya merupakan dampak yang dinamis. Yang dimaksud dengan peningkatan produktivitas mencakup antara lain perluasan pasar, peningkatan daya saing, adanya alih teknologi dan dampak inovasi teknologi. Untuk lebih mengaktualisasi EPA itu, dalam sikap pandang METI Jepang strateginya adalah memberi manfaat pada perekonomian Jepang secara keseluruhan : menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan, menghindari kondisi yang merugikan (disadvantageous) dan menggerakkan reformasi structural. Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri Jepang kepentingan Jepang adalah dalam sikap pandang geopolitik dan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi. Tentunya dengan menghargai sikap pandang "counterpart", agar tidak terjadi asimetri. Ketika pihak Jepang dengan gencar mempromosikan gagasan EPA terungkap salah satu sasaran utama adalah dalam kaitannya dengan Asia Timur. Premise yang disadari dan pahami adalah bahwa Asia Timur makin cepat memperoleh/menikmati keberadaan ekonomi dan makin mendalamnya interdependensi ekonomi. Secara lebih eksplisit fokus nya adalah pada pemanfaatan elemen elemen pertumbuhan Asia Timur untuk lebih nyata merevitalisasi ekonomi Jepang serta menyadari potensi pembangunan ekonomi Asia Timur dalam waktu mendatang. Sampai kini pun masih banyak aparat birokrasi di negeri ini di tingkat manajemen menengah apalagi di daerah yang berkepentingan dengan gagasan EPA yang didalamnya FTA, belum sepenuhnya memahaminya dan bagaimana ‘rencana dan program’ yang harus digarap. Bayangkan saja, Singapura tahun 2002 sudah menandatangani JSEPA Japan Singapore Economic Partnership Agreement yang komprehensip, demikian pula Thailand dan Malaysia kemudian tahun 2003 . Kebanyakan pelaku bisnis Indonesia dalam interaksi dengan Jepang walaupun hubungan perdagangan dan investasi dengan Jepang sudah sejak 1957 (50 tahun) belum cukup professional sebagai disyaratkan dalam perdagangan dan investasi dan banyak kali pihak kita digiring untuk menuruti kepentingan eksekutif Jepang yang ditugasi kantor pusat mereka dalam realisasi beraliansi. Oleh karena itu, kini saatnya bagi pihak pebisnis di negeri ini, terutama generasi penerus hubungan itu meningkatkan mutu profesionalisme dalam rangka EPA, agar memperoleh maslahat (benefit) yang seimbang. (*) *) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi studi pembangunan Asia Timur; Dosen senior di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara di Jakarta.