Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mendorong petambak garam berkumpul dan membentuk koperasi yang nantinya akan didukung Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) guna menyiasati masalah keterbatasan lahan.

“Petambak garam harus berkumpul dan membuat kelompok atau koperasi, dan nanti akan kita dukung untuk bekerjasama dengan investor dan Pemda dalam bentuk BUMD. Jadi, sifatnya kemitraan dan para petambak itu akan seperti pemegang sahamnya,” kata Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.

Menurut Agung, permasalahan lahan adalah masalah klasik yang memerlukan penanganan seksama. Masalah tumpang tindih lahan masih menjadi hambatan untuk membuka ladang garam baru.

Namun demikian, pemerintah, lanjutnya, akan terus berupaya untuk menuntaskan permasalahan tersebut, di antaranya untuk menutup celah impor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.

“Ini ada potensi untuk menutup celah impor. Dalam waktu singkat kita ingin hal ini dapat terwujud, sebab ada masalah lahan di sini dan ini tidaklah mudah sebab ada masalah tumpang tindih perizinan, tetapi apapun masalahnya dalam tahun ini kita akan menambah banyak sekali ladang-ladang garam baru,” jelasnya.

Kemenko Maritim meninjau ladang garam berteknologi prisma, yaitu teknologi yang tidak terpengaruh oleh cuaca dan bisa panen setiap tahun, di wilayah Bungko Lor, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/8).

Turut hadir dalam peninjauan itu Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani yang menjelaskan bahwa menerapkan teknologi prisma yang membutuhkan lahan seluas 400 hektare itu sudah diterapkan di negara-negara lain semisal di Australia.

“Kenapa kita butuh 400 hektare? karena kita membutuhkan 90 persen untuk proses evaporasi, dan 10 persen lahan kristalisasi. Dengan jalan seperti itu semisal petambak berkumpul dan membentuk suatu koperasi, dan BUMD yang mengelolanya, akhirnya para petani garam akan bisa mendapatkan seperti plasma sawit. Jadi ada skalanya, ada skala 40 ton dan 60 ton misalnya. Jadi ini yang harus dibuat, bila sudah terintegrasi, kita tinggal membuat pabriknya dan hasilnya nanti 97 persen sudah pasti di tangan,” ujarnya.