RUU PKS perlu dimasukkan aturan kejahatan seksual sesama jenis
5 Agustus 2019 15:35 WIB
Aktivis Perlindungan Anak, Masnah Sari saat ditemui dalam penyampaian sikap ICMI tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Jakarta, Senin (5/8/2019). (ANTARAnews/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Aktivis perlindungan anak, Masnah Sari, mengatakan dalam pasal satu Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu dimasukkan aturan soal kejahatan seksual sesama jenis, karena hal itu tidak sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, adat istiadat, dan kearifan lokal yang dianut di Indonesia.
Menurut Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu, definisi kekerasan seksual yang diatur dalam Bab 1 Pasal 1 RUU penghapusan kekerasan seksual mengandung arti yang multitafsir dan tidak substansif sebab perilaku hubungan seksual menyimpang (LGBT) termasuk upaya penyembuhan tidak dibahas sama sekali sebagai kejahatan seksual.
Baca juga: Forhati tolak RUU PKS
“Laki-laki bisa jadi korban, anak-anak juga menjadi korban. Kalau kalimat anti kekerasan seksual itu seolah-olah mau semuanya dibolehkan asal atas dasar hubungan suka sama suka antara laki-laki dengan perempuan, perempuan dan perempuan, atau laki-laki dengan laki-laki. Seolah-olah tidak dilarang dan dibolehkan. Padahal semua agama menolak itu. Karena itu tidak berdasarkan dengan kearifan lokal, kepatutan, dan adat istiadat dimana pun,” ujar Masnah di Jakarta, Senin.
Adapun definisi kekerasan dalam RUU PKS tersebut yakni ketiadaan persetujuan dari korban terhadap kemauan pelaku. Jika mereka suka sama suka, maka pelacuran ataupun perilaku seks menyimpang lainnya disahkan.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) itu juga mendapat perhatian dari Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Sri Astuti yang menilai RUU PKS belum layak untuk disahkan menjadi UU karena masih rancu apakah membolehkan atau menolak perilaku menyimpang. Terutama yang belum jelas di dalam RUU tersebut, seperti seks sesama jenis, zina, dan perlakuan seks dasar dalam keluarga.
“Semua agama menolak hubungan seksual sejenis. Di Alquran itu termasuk pidana, namun agama lain juga tidak memperbolehkan perkawinan sejenis. Karena perkawinan itu tujuannya untuk berkembang biak. Kalau laki-laki dengan laki-laki kan tidak berkembang biak. ICMI ingin mengobati dan meluruskan kembali bahkan merangkul, agar LGBT berkurang bahkan tidak ada lagi,” ujar Wakil Ketua Umum ICMI di Jakarta, Senin.
Sri juga menyoroti judul 'Penghapusan Kekerasan Seksual' yang menurutnya tidak tepat dijadikan judul RUU itu. ICMI, kata Sri, ingin judul yang lebih spesifik dan mendalam dan menyarankan judul RUU diubah menjadi RUU Kejahatan Seksual saja.
“Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi pada semua usia dan gender, sehingga seharusnya RUU ini berlaku universal,” tandasnya.
Baca juga: MUI berikan rekomendasi untuk RUU PKS
Baca juga: Komnas Perempuan: ada yang salah memahami definisi RUU PKS
Menurut Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu, definisi kekerasan seksual yang diatur dalam Bab 1 Pasal 1 RUU penghapusan kekerasan seksual mengandung arti yang multitafsir dan tidak substansif sebab perilaku hubungan seksual menyimpang (LGBT) termasuk upaya penyembuhan tidak dibahas sama sekali sebagai kejahatan seksual.
Baca juga: Forhati tolak RUU PKS
“Laki-laki bisa jadi korban, anak-anak juga menjadi korban. Kalau kalimat anti kekerasan seksual itu seolah-olah mau semuanya dibolehkan asal atas dasar hubungan suka sama suka antara laki-laki dengan perempuan, perempuan dan perempuan, atau laki-laki dengan laki-laki. Seolah-olah tidak dilarang dan dibolehkan. Padahal semua agama menolak itu. Karena itu tidak berdasarkan dengan kearifan lokal, kepatutan, dan adat istiadat dimana pun,” ujar Masnah di Jakarta, Senin.
Adapun definisi kekerasan dalam RUU PKS tersebut yakni ketiadaan persetujuan dari korban terhadap kemauan pelaku. Jika mereka suka sama suka, maka pelacuran ataupun perilaku seks menyimpang lainnya disahkan.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) itu juga mendapat perhatian dari Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Sri Astuti yang menilai RUU PKS belum layak untuk disahkan menjadi UU karena masih rancu apakah membolehkan atau menolak perilaku menyimpang. Terutama yang belum jelas di dalam RUU tersebut, seperti seks sesama jenis, zina, dan perlakuan seks dasar dalam keluarga.
“Semua agama menolak hubungan seksual sejenis. Di Alquran itu termasuk pidana, namun agama lain juga tidak memperbolehkan perkawinan sejenis. Karena perkawinan itu tujuannya untuk berkembang biak. Kalau laki-laki dengan laki-laki kan tidak berkembang biak. ICMI ingin mengobati dan meluruskan kembali bahkan merangkul, agar LGBT berkurang bahkan tidak ada lagi,” ujar Wakil Ketua Umum ICMI di Jakarta, Senin.
Sri juga menyoroti judul 'Penghapusan Kekerasan Seksual' yang menurutnya tidak tepat dijadikan judul RUU itu. ICMI, kata Sri, ingin judul yang lebih spesifik dan mendalam dan menyarankan judul RUU diubah menjadi RUU Kejahatan Seksual saja.
“Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi pada semua usia dan gender, sehingga seharusnya RUU ini berlaku universal,” tandasnya.
Baca juga: MUI berikan rekomendasi untuk RUU PKS
Baca juga: Komnas Perempuan: ada yang salah memahami definisi RUU PKS
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019
Tags: