New York (ANTARA) - Harga minyak naik sekitar tiga persen pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), sehari setelah mencatat penurunan harian terbesar mereka dalam beberapa tahun karena ancaman Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif lebih banyak pada impor dari China.

Untuk minggu ini, harga acuan minyak mentah mencatat kerugian.

Tarif baru Washington terhadap China, yang mulai berlaku pada 1 September, mengintensifkan perang dagang antara dua ekonomi utama dunia. Setiap perlambatan ekonomi yang dihasilkan dapat mengganggu permintaan minyak mentah.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober ditutup pada 61,89 dolar AS per barel, naik 1,39 dolar AS atau atau 2,30 persen. Acuan global turun lebih dari tujuh persen pada Kamis (1/8/2019), penurunan harian tertajam dalam lebih dari tiga tahun.

Minyak mentah berjangka WTI untuk pengiriman September berakhir pada 55,66 dolar AS per barel, naik 1,71 dolar AS atau 3,17 persen setelah terjun hampir delapan persen pada Kamis (1/8/2019), kerugian terbesar dalam lebih dari empat tahun.

Untuk minggu ini, Brent kehilangan sekitar 2,7 persen, sementara WTI turun sekitar 1,2 persen.

Sebelum penurunan Kamis (1/8/2019), minyak mentah berjangka telah melihat reli yang rapuh didukung oleh penarikan stabil dalam persediaan AS tetapi ditekan oleh prospek permintaan global yang goyah.

“Pasar masih mencerna dampak tarif pada pasar minyak, tetapi mengingat China telah mengambil sangat sedikit minyak mentah AS tahun ini, kami melihat sedikit ruang untuk tarif yang secara langsung berdampak pada fundamental pasar,” Ryan Fitzmaurice, analis RoboResearch Commodities mengatakan dalam sebuah catatan.

Trump mengatakan bahwa dia akan mengenakan tarif 10 persen pada impor China senilai 300 miliar dolar AS dan mengatakan dia bisa menaikkan tarif lebih lanjut jika presiden China, Xi Jinping, gagal bergerak lebih cepat menuju kesepakatan perdagangan.

Pengumuman ini memperluas tarif AS ke hampir semua produk China yang diimpor. China mengatakan tidak akan menerima "intimidasi atau pemerasan" dan berjanji akan melakukan tindakan balasan.

China, yang pernah menjadi pembeli utama minyak mentah AS, memangkas pembeliannya tahun lalu karena perang perdagangan berlarut-larut.

Namun, meningkatnya perang dagang dapat mendorong Federal Reserve AS ke arah penurunan suku bunga lebih lanjut, yang kemungkinan akan mendorong harga minyak.

"Perang perdagangan akan meningkatkan peluang secara dramatis bahwa The Fed harus menurunkan suku bunga lagi, mungkin dua kali tahun ini," kata Phil Flynn, seorang analis di Price Futures Group di Chicago.

Ekspor minyak mentah AS melonjak 260.000 barel per hari (bph) pada Juni ke rekor bulanan 3,16 juta barel per hari karena Korea Selatan membeli rekor volume dan China melanjutkan pembelian, data dari Biro Sensus AS menunjukkan.

Pasar juga memantau penghitungan rig minyak mingguan AS, indikator produksi di masa depan, yang turun selama lima minggu berturut-turut karena sebagian besar produsen independen memangkas pengeluaran meskipun perusahaan-perusahaan besar masih terus maju dengan investasi dalam pengeboran baru. Demikian laporan yang dikutip dari Xinhua.

Baca juga: Harga emas naik lebih dari 1 persen, pedagang beli aset yang aman

Baca juga: Dolar melemah di tengah pertumbuhan pekerjaan AS yang melambat