Jakarta (ANTARA) - Seniman Butet Kertaradjasa menyampaikan pesan bahwa pemimpin tidak harus berasal dari kaum laki-laki, sebab kaum perempuan pun juga mumpuni.

"'Sing dadi pemimpin ora kudu wong lanang. Wong wedok yo iso ampuh' (Yang jadi pemimpin tidak harus laki-laki. Perempuan juga bisa)," kata Butet saat tampil di sela pementasan wayang kulit di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat malam.

Butet tampil bersama seniman lain, yakni Cak Lontong, Akbar, Kirun, Den Baguse Ngarso, Didi Kempot, Soimah, Endah Laras, dan Edo Kondologit.

Diceritakan, Butet memerankan ayah yang memiliki dua putri, yakni Soimah dan Endah Laras. Cak Lontong berniat menyunting anak sulungnya, Soimah.

Dibantu Den Baguse Ngarso dan Kirun, Butet membentuk semacam panitia seleksi (pansel) untuk mengetes kelayakan Cak Lontong sebagai calon menantu.

"Ini camen. Calon menantu loh ya, bukan calon menteri," canda Butet, disambut tawa penonton.

Melanjutkan dialog, Butet menyebutkan putrinya bukan perempuan sembarangan sehingga harus mendapatkan menantu pilihan.

Sembari bercanda, Butet menawari Cak Lontong untuk menikahi putri keduanya, yakni Endah Laras, namun Cak Lontong menolak karena tak secantik dan selangsing sang kakak.

Endah Laras langsung menimpali bahwa sesungguhnya mereka berdua mencerminkan Indonesia.

"Soimah menggambarkan Indonesia yang cantik dan molek, ini (saya, red.) Indonesia yang subur dan makmur," celotehnya, diikuti gelak tawa penonton.

Pentas wayang kulit dalam rangka peringatan 74 tahun Indonesia Merdeka itu mengambil lakon "Kresno Jumeneng Ratu" dengan dalang Ki Manteb Sudarsono.

Presiden RI Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana menonton pertunjukan itu bersama tamu undangan, sedangkan warga menonton dari dua layar monitor yang ada di luar.

Dari berbagai literatur, lakon "Kresno Jumeneng Ratu" menceritakan tentang kisah Narayana, nama lain Kresna menaklukkan negara bernama Dwarawati yang dipimpin raksasa bernama Prabu Narasingha.

Kehadiran Narayana di Negara Dwarawati sejatinya untuk menyadarkan rakyat yang membuatnya dihormati, tetapi justru dianggap pemberontak oleh Narasingha.

Singkat cerita, Prabu Natasingha justru terbunuh oleh Narayana yang kemudian berganti memimpin Negara Dwarawati dengan gelar Prabu Sri Kresna.

Namun, Kresna tak mau semena-mena dan menunjukkan sikap kenegarawanannya dengan merangkul orang-orang yang dahulu ada di sekitar Prabu Narasingha.

Baca juga: Wayangan di depan Istana Merdeka, warga nonton lesehan
Baca juga: Sekjen PDIP: wayang jadi gambaran dinamika politik