Pemulung Bantargebang tidak setuju PLTSa
1 Agustus 2019 17:55 WIB
Pekerja beraktivitas di area rumah komposting Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (21/6/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penambahan sejumlah fasilitas di TPST Bantar Gebang guna menekan volume sampah DKI eksisiting 26 juta meter kubik. Fasilitas itu diantaranya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Rumah Komposting, area pertambangan pengolahan sampah sebagai bahan bakar atau Refused Derived Fuel (RDF) serta Landfill. ANTARA FOTO/Risky Andrianto/hp.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pemulung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang menilai fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) mengancam kelangsungan mata pencarian mereka.
"Saya kalau ditanya, pasti akan jawab tidak setuju. Karena PLTSa ini kan bahan bakunya sampah plastik, sedangkan kami sangat membutuhkan sampah plastik yang dijual supaya bisa makan," kata Karya (44) warga RW03 Ciketing, Bantargebang, di Bekasi, Kamis.
Menurut dia, ribuan pemulung saat ini menggantungkan hidup mereka pada sampah plastik di lima zona TPST Bantargebang.
"Saya biasanya bisa ambil 50 sampai 200 kilogram sampah setiap hari," katanya.
Baca juga: Pengamat: Pembangkit listrik tenaga sampah cocok di perkotaan
Pemulung lainnya, Sukardi (51), mengaku resah dengan kehadiran PLTSa yang kini berdiri megah di sisi timur TPST Bantargebang.
Area produksi listrik berbahan bakar sampah itu layaknya sebuah pabrik yang memiliki bermacam alat produksi pembakaran sampah berteknologi termal yang mengolah sampah secara cepat, serta menghasilkan produk samping listrik.
"Sampah yang dibakar itu yang biasanya saya cari di sini. Misalnya, kemasan makanan, botol plastik, perabotan rumah tangga, atau kantong kresek," katanya.
Omzet yang didapat Sukardi dari penjualan sampah plastik berkisar Rp75 ribu hingga Rp100 ribu per hari, sedangkan pengepul mampu mengantongi omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan dari transaksi daur ulang menjadi bijih plastik.
Baca juga: Empat daerah siap dirikan pembangkit listrik tenaga sampah tahun ini
Secara terpisah Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, meminta para pemulung tidak resah dengan aktivitas PLTSa.
"Kalau PLTSa di Bantargebang hanya berkapasitas sampah 50-100 ton per hari. Bila dibandingkan sampah Bantargebang yang masuk 7.500 ton per hari, jumlahnya masih sangat kecil," katanya.
Selain itu PLTSa ini masih uji coba, tidak seperti PLTSa berskala besar yang bisa menghabiskan sampah dalam jumlah yang banyak.
Baca juga: Presiden teken Perpres soal pengolahan sampah jadi energi listrik
PLTSa milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bergulir sejak 25 Maret 2019 direncanakan selesai masa uji coba pada 2020 dan selanjutnya resmi beroperasi.
"Saya kalau ditanya, pasti akan jawab tidak setuju. Karena PLTSa ini kan bahan bakunya sampah plastik, sedangkan kami sangat membutuhkan sampah plastik yang dijual supaya bisa makan," kata Karya (44) warga RW03 Ciketing, Bantargebang, di Bekasi, Kamis.
Menurut dia, ribuan pemulung saat ini menggantungkan hidup mereka pada sampah plastik di lima zona TPST Bantargebang.
"Saya biasanya bisa ambil 50 sampai 200 kilogram sampah setiap hari," katanya.
Baca juga: Pengamat: Pembangkit listrik tenaga sampah cocok di perkotaan
Pemulung lainnya, Sukardi (51), mengaku resah dengan kehadiran PLTSa yang kini berdiri megah di sisi timur TPST Bantargebang.
Area produksi listrik berbahan bakar sampah itu layaknya sebuah pabrik yang memiliki bermacam alat produksi pembakaran sampah berteknologi termal yang mengolah sampah secara cepat, serta menghasilkan produk samping listrik.
"Sampah yang dibakar itu yang biasanya saya cari di sini. Misalnya, kemasan makanan, botol plastik, perabotan rumah tangga, atau kantong kresek," katanya.
Omzet yang didapat Sukardi dari penjualan sampah plastik berkisar Rp75 ribu hingga Rp100 ribu per hari, sedangkan pengepul mampu mengantongi omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan dari transaksi daur ulang menjadi bijih plastik.
Baca juga: Empat daerah siap dirikan pembangkit listrik tenaga sampah tahun ini
Secara terpisah Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, meminta para pemulung tidak resah dengan aktivitas PLTSa.
"Kalau PLTSa di Bantargebang hanya berkapasitas sampah 50-100 ton per hari. Bila dibandingkan sampah Bantargebang yang masuk 7.500 ton per hari, jumlahnya masih sangat kecil," katanya.
Selain itu PLTSa ini masih uji coba, tidak seperti PLTSa berskala besar yang bisa menghabiskan sampah dalam jumlah yang banyak.
Baca juga: Presiden teken Perpres soal pengolahan sampah jadi energi listrik
PLTSa milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bergulir sejak 25 Maret 2019 direncanakan selesai masa uji coba pada 2020 dan selanjutnya resmi beroperasi.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: