Persi Sumsel: Tiga faktor penyebab rumah sakit turun kelas
1 Agustus 2019 17:31 WIB
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Provinsi Sumatera Selatan Mohammad Syahrir. (Antara News Sumsel/Dolly Rosana/19)
Palembang (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Provinsi Sumatera Selatan Mohammad Syahrir mengatakan terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan sejumlah rumah sakit di daerah tersebut turun kelas.
“Pertama, masalah Sumber Daya Manusia, kemudian sarana dan prasarana dan alat kesehatan,” kata dia di Palembang, Kamis, ketika diwawancarai terkait turun kelasnya 16 rumah sakit di daerah tersebut.
Ia mengatakan pemerintah memiliki standar dalam menentukan kelas dari rumah sakit mulai dari kelas A, B, C dan D. Pada umumnya, rumah sakit kesulitan dalam hal SDM yakni memenuhi standar dari jumlah dokter, terutama dokter spesialis.
Artinya, ia melanjutkan, kelas dari rumah sakit itu dapat berubah-ubah tergantung dengan kemampuan terkininya. “Jadi bisa berubah itu, rumah sakit memiliki kesempatan untuk mengubah itu,” kata dia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan lewat surat bernomor HK.04.01/I/2963/2019 tentang Rekomendasi Penyesuaian Kelas Rumah Sakit Hasil Review Kelas Rumah Sakit menyebut 615 rumah sakit di seluruh Indonesia harus turun kelas.
Di Sumatera Selatan diketahui terdapat 16 rumah sakit, dan tiga diantaranya merupakan rumah sakit milik pemerintah yakni RS Khusus Mata Masyarakat Provinsi Sumatera Selatan dari kelas B saat ini menjadi C, RS Khusus Gigi dan Mulut kelas saat ini tipe C menjadi C+, dan RS Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan dari kelas B turun menjadi kelas C.
Menanggapi hal ini, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan penilaian yang diberikan oleh Kemenkes terkait turun kelasnya tiga rumah sakit milik pemprov Sumsel lebih disebabkan angka jumlah kecukupan dokter ataupun dokter spesialis yang terdapat di rumah sakit.
"Ini lebih ke masalah kelengkapan administrasi saja. Rata-rata terkait angka kecukupan dokter. Bukan pada masalah pelayanan ataupun infrastruktur yang ada. Untuk itu kita akan undang IDI Sumsel guna melakukan pembenahan dan mencari solusi," kata Deru.
Menurutnya, selama ini permasalahan yang kerap terjadi adalah pada ketersediaan tenaga dokter spesialis. Seringkali di wilayah perkotaan terjadi penumpukan tenaga dokter, sementara di desa kekurangan dokter.*
Baca juga: Delapan rumah sakit di NTB turun kelas
Baca juga: Kemenkes: Pengawasan rumah sakit makin ketat di era JKN
Baca juga: Gubernur Banten protes Kemenkes soal penurunan tipe 21 rumah sakit
“Pertama, masalah Sumber Daya Manusia, kemudian sarana dan prasarana dan alat kesehatan,” kata dia di Palembang, Kamis, ketika diwawancarai terkait turun kelasnya 16 rumah sakit di daerah tersebut.
Ia mengatakan pemerintah memiliki standar dalam menentukan kelas dari rumah sakit mulai dari kelas A, B, C dan D. Pada umumnya, rumah sakit kesulitan dalam hal SDM yakni memenuhi standar dari jumlah dokter, terutama dokter spesialis.
Artinya, ia melanjutkan, kelas dari rumah sakit itu dapat berubah-ubah tergantung dengan kemampuan terkininya. “Jadi bisa berubah itu, rumah sakit memiliki kesempatan untuk mengubah itu,” kata dia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan lewat surat bernomor HK.04.01/I/2963/2019 tentang Rekomendasi Penyesuaian Kelas Rumah Sakit Hasil Review Kelas Rumah Sakit menyebut 615 rumah sakit di seluruh Indonesia harus turun kelas.
Di Sumatera Selatan diketahui terdapat 16 rumah sakit, dan tiga diantaranya merupakan rumah sakit milik pemerintah yakni RS Khusus Mata Masyarakat Provinsi Sumatera Selatan dari kelas B saat ini menjadi C, RS Khusus Gigi dan Mulut kelas saat ini tipe C menjadi C+, dan RS Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan dari kelas B turun menjadi kelas C.
Menanggapi hal ini, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan penilaian yang diberikan oleh Kemenkes terkait turun kelasnya tiga rumah sakit milik pemprov Sumsel lebih disebabkan angka jumlah kecukupan dokter ataupun dokter spesialis yang terdapat di rumah sakit.
"Ini lebih ke masalah kelengkapan administrasi saja. Rata-rata terkait angka kecukupan dokter. Bukan pada masalah pelayanan ataupun infrastruktur yang ada. Untuk itu kita akan undang IDI Sumsel guna melakukan pembenahan dan mencari solusi," kata Deru.
Menurutnya, selama ini permasalahan yang kerap terjadi adalah pada ketersediaan tenaga dokter spesialis. Seringkali di wilayah perkotaan terjadi penumpukan tenaga dokter, sementara di desa kekurangan dokter.*
Baca juga: Delapan rumah sakit di NTB turun kelas
Baca juga: Kemenkes: Pengawasan rumah sakit makin ketat di era JKN
Baca juga: Gubernur Banten protes Kemenkes soal penurunan tipe 21 rumah sakit
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: