Jakarta (ANTARA) - Wacana KPU untuk memasukkan ke Peraturan KPU tentang larangan mantan narapidana koruptor untuk menjadi calon kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 patut didukung, tapi harus diperkuat juga dengan revisi produk perundangan oleh legislatif.

"Di PKPU bisa dia (KPU) membuat, tapi kekuatannya akan kalah dengan undang-undang. Ia bisa bikin di PKPU, tapi akan tetap kalah bila di UU Pilkada tidak mengatur hal itu," ungkap pengamat politik Silvanus Alvin, saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Menurut Alvin, penambahan peraturan larangan tersebut memang masuk dalam ranah legislatif karena harus merevisi UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang harus dilakukan Komisi II DPR.

KPU bisa tetap memasukkan peraturan tersebut PKPU, tapi harus disertai dengan mendorong dimasukkan larangan itu ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi II yang memiliki lingkup tugas di bidang dalam negeri dan pemilu itu.

Juga baca: Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU

Juga baca: Mantan pimpinan KPK: Jangan pilih parpol pengusung eks napi korupsi

Juga baca: KPU umumkan 32 daftar nama tambahan caleg mantan napi korupsi

Menurut Alvin, ketika itu dilakukan maka mata publik akan tertuju ke Komisi II DPR, apakah mereka akan melakukan perubaham di UU Pilkada yang melarang keikutsertaan eks napi koruptor dalam pemilihan kepala daerah.

"Saat ada rapat kerja, KPU bisa membawa isu ini langsung ke Komisi II DPR. Dengan demikian, Komisi II harus menampung aspirasi itu dan menindaklajutinya. Kalau tidak ada, anggota DPR kita ini tidak pro terhadap pemberantasan korupsi," tegas akademisi Universitas Bunda Mulia itu.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berkomentar mengenai dukungan KPU terhadap wacana KPK yang mengusulkan aturan larangan bagi mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi ikut Pilkada 2020.

Ia menegaskan kewenangan membuat aturan larangan mantan napi koruptor mengikuti Pilkada ada di tangan DPR bukan KPU.

"KPU RI itu jaga administrasi penyelenggaraan Pemilu saja, jangan ikut membuat politik penyelenggaraan Pemilu karena itu wilayahnya DPR, domain politik," kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.