BMKG: Kerentanan gempa di Indonesia harus diterima
31 Juli 2019 21:15 WIB
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono saat jumpa pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (31/7/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan bangsa Indonesia harus menerima kondisi wilayah yang rentan terhadap gempa dengan mempersiapkan diri bila terjadi gempa.
"Bila memang tinggal dekat dengan sumber gempa tidak perlu takut, tetapi dihadapi dengan melakukan mitigasi struktural, yaitu dengan membangun rumah yang tahan gempa," kata Daryono dalam jumpa pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Rabu.
Selain membangun rumah yang tahan gempa, masyarakat Indonesia juga harus memahami cara-cara untuk menyelamatkan diri saat terjadi gempa. Pasalnya, sebenarnya bukan gempa yang menyebabkan korban jiwa, melainkan bangunan yang runtuh akibat gempa.
Daryono mengatakan wilayah Indonesia memiliki enam zona subduksi lempeng aktif dengan 16 segmen zona megathrust. Selain itu, terdapat 295 segmen sesar aktif yang sudah teridentifikasi.
"Karena itu, wilayah Indonesia sangat aktif gempa bumi. Dalam satu tahun gempa dalam berbagai kekuatan terjadi 5.000 hingga 6.000 kali," tuturnya.
Sementara itu, dalam setahun bisa terjadi gempa berkekuatan lebih dari 5 Skala Richter sebanyak 250 hingga 350 kali, dan gempa yang merusak terjadi delapan hingga 10 kali.
Sepanjang Juli 2019 saja, terjadi 841 kali gempa, yang berarti meningkat bila dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 735 kali.
Gempa merusak yang terjadi sepanjang Juli 2019 sebanyak empat kali, yaitu Gempa Maluku Utara pada 7 Juli 2019 berkekuatan 7,1 Skala Richter, gempa Sumbawa pada 1 Juli 2019 berkekuatan 5,5 Skala Richter, gempa Halmahera Selatan pada 14 Juli 2019 berkekuatan 7,2 Skala Richter, dan gempa Bali Selatan pada 16 Juli 2019 berkekuatan 6,0 Skala Richter.
"Bila memang tinggal dekat dengan sumber gempa tidak perlu takut, tetapi dihadapi dengan melakukan mitigasi struktural, yaitu dengan membangun rumah yang tahan gempa," kata Daryono dalam jumpa pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Rabu.
Selain membangun rumah yang tahan gempa, masyarakat Indonesia juga harus memahami cara-cara untuk menyelamatkan diri saat terjadi gempa. Pasalnya, sebenarnya bukan gempa yang menyebabkan korban jiwa, melainkan bangunan yang runtuh akibat gempa.
Daryono mengatakan wilayah Indonesia memiliki enam zona subduksi lempeng aktif dengan 16 segmen zona megathrust. Selain itu, terdapat 295 segmen sesar aktif yang sudah teridentifikasi.
"Karena itu, wilayah Indonesia sangat aktif gempa bumi. Dalam satu tahun gempa dalam berbagai kekuatan terjadi 5.000 hingga 6.000 kali," tuturnya.
Sementara itu, dalam setahun bisa terjadi gempa berkekuatan lebih dari 5 Skala Richter sebanyak 250 hingga 350 kali, dan gempa yang merusak terjadi delapan hingga 10 kali.
Sepanjang Juli 2019 saja, terjadi 841 kali gempa, yang berarti meningkat bila dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 735 kali.
Gempa merusak yang terjadi sepanjang Juli 2019 sebanyak empat kali, yaitu Gempa Maluku Utara pada 7 Juli 2019 berkekuatan 7,1 Skala Richter, gempa Sumbawa pada 1 Juli 2019 berkekuatan 5,5 Skala Richter, gempa Halmahera Selatan pada 14 Juli 2019 berkekuatan 7,2 Skala Richter, dan gempa Bali Selatan pada 16 Juli 2019 berkekuatan 6,0 Skala Richter.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: