TIM selenggarakan Pekan Sastra Betawi untuk gairahkan sastra Betawi
31 Juli 2019 15:43 WIB
Pengunjung mengamati naskah kuno pada pameran naskah Pecenongan sastra Betawi akhir abad ke-19 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (11/7). Sebanyak 26 karya dari 31 jilid naskah Pecenongan koleksi Perpunas dipamerkan di galeri tersebut yang diharapkan dapat menarik perhatian dan minat budayawan serta masyarakat untuk memahami, mempelajari serta mengungkap warisan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Jakarta (ANTARA) - Taman Ismail Marzuki (TIM) akan menyelenggarakan Pekan Sastra Betawi pada 5-8 Agustus 2019 antara lain untuk menggairahkan dunia sastra Betawi yang dinilai kurang banyak dikenal masyarakat.
“Gelaran kali ini mengusung tema “Lokalitas Metropolitan”. Tema ini dipilih karena karya sastra Betawi merupakan karya-karya yang melukiskan ciri khas wilayah kebudayaan Betawi, termasuk komunitas kultural yang mendiaminya serta kota tempat bermukim,” kata nara hubung panitia kegiatan Rachmad Sadeli di Jakarta, Rabu.
Rachmad menjelaskan, sastra Betawi saat ini kurang banyak dikenal masyarakat luas. Padahal, karya sastra ini merentang dalam waktu cukup panjang. Jejak sastra Betawi bisa ditelusuri misalnya dari tradisi berpantun masyarakat Betawi. Bisa pula direkam dari syair-syair teater tradisional Topeng Jantuk yang kental dengan warna Melayu.
Sementara seni tulis paling tua ditemukan dalam karya Muhammad Bakir, seorang penyalin dan pengarang yang menyewakan naskah-naskahnya pada abad ke-18. Karya Bakir ini ditulis dalam tulisan Arab Melayu.
Dikatakannya, sastra Betawi tidak hanya ditulis oleh penulis berdarah Betawi, tetapi juga penulis dari etnik lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kota Jakarta.
“Sebut saja Aman Dt Madjoindo, sastrawan berdarah Minang yang melahirkan karya masterpiece “Si Doel Anak Betawi”. Karya yang ditulis pada tahun 1936 seakan tak lekang ditelan zaman. Selain telah melahirkan film layar lebar. “Si Doel Anak Betawi” juga sudah menjadi inspirasi lahirnya sinetron fenomenal “Si Doel Anak Sekolahan” besutan Rano Karno,” katanya.
Namun belakangan ini, katanya, sastra Betawi seperti berjalan di tempat. Jika di era 1960-an hingga 2000-an dikenal nama Firman Muntaco dan SM Ardan, 10 tahun terakhir ini penggiat sastra Betawi hanya terdengar samar-samar belaka.
Dalam pelaksanaan Pekan Sastra Betawi itu, katanya, Unit Pengelola Taman Ismail Marzuki menggandeng Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Karena itu Pekan Sastra Betawi menjadi bagian dari “Jakarta International Literary Festival” Komite Sastra DKJ.
Pekan Sastra Betawi juga melibatkan Lembaga Kebudayaan Betawi, Balai Pelestarian Nillai Jawa Barat, Komunitas Baca Betawi dan Betawi Kita.
Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari ini menampilkan Seminar Stigma Negatif Orang Betawi dalam Film; Lomba Menulis Cerpen Betawi; Pertunjukan Sastra Lisan; Workshop Cerpen, Pantun, Skenario, dan Featur; Betawi Bersastra; Pembacaan puisi dan cerpen; dan Bazar Kuliner Betawi.
Baca juga: Humor jadi unsur dominan dalam sastra betawi
Baca juga: Karya sastra Haiku angkat Budaya Betawi
“Gelaran kali ini mengusung tema “Lokalitas Metropolitan”. Tema ini dipilih karena karya sastra Betawi merupakan karya-karya yang melukiskan ciri khas wilayah kebudayaan Betawi, termasuk komunitas kultural yang mendiaminya serta kota tempat bermukim,” kata nara hubung panitia kegiatan Rachmad Sadeli di Jakarta, Rabu.
Rachmad menjelaskan, sastra Betawi saat ini kurang banyak dikenal masyarakat luas. Padahal, karya sastra ini merentang dalam waktu cukup panjang. Jejak sastra Betawi bisa ditelusuri misalnya dari tradisi berpantun masyarakat Betawi. Bisa pula direkam dari syair-syair teater tradisional Topeng Jantuk yang kental dengan warna Melayu.
Sementara seni tulis paling tua ditemukan dalam karya Muhammad Bakir, seorang penyalin dan pengarang yang menyewakan naskah-naskahnya pada abad ke-18. Karya Bakir ini ditulis dalam tulisan Arab Melayu.
Dikatakannya, sastra Betawi tidak hanya ditulis oleh penulis berdarah Betawi, tetapi juga penulis dari etnik lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kota Jakarta.
“Sebut saja Aman Dt Madjoindo, sastrawan berdarah Minang yang melahirkan karya masterpiece “Si Doel Anak Betawi”. Karya yang ditulis pada tahun 1936 seakan tak lekang ditelan zaman. Selain telah melahirkan film layar lebar. “Si Doel Anak Betawi” juga sudah menjadi inspirasi lahirnya sinetron fenomenal “Si Doel Anak Sekolahan” besutan Rano Karno,” katanya.
Namun belakangan ini, katanya, sastra Betawi seperti berjalan di tempat. Jika di era 1960-an hingga 2000-an dikenal nama Firman Muntaco dan SM Ardan, 10 tahun terakhir ini penggiat sastra Betawi hanya terdengar samar-samar belaka.
Dalam pelaksanaan Pekan Sastra Betawi itu, katanya, Unit Pengelola Taman Ismail Marzuki menggandeng Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Karena itu Pekan Sastra Betawi menjadi bagian dari “Jakarta International Literary Festival” Komite Sastra DKJ.
Pekan Sastra Betawi juga melibatkan Lembaga Kebudayaan Betawi, Balai Pelestarian Nillai Jawa Barat, Komunitas Baca Betawi dan Betawi Kita.
Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari ini menampilkan Seminar Stigma Negatif Orang Betawi dalam Film; Lomba Menulis Cerpen Betawi; Pertunjukan Sastra Lisan; Workshop Cerpen, Pantun, Skenario, dan Featur; Betawi Bersastra; Pembacaan puisi dan cerpen; dan Bazar Kuliner Betawi.
Baca juga: Humor jadi unsur dominan dalam sastra betawi
Baca juga: Karya sastra Haiku angkat Budaya Betawi
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Tags: