LPS targetkan premi restrukturisasi perbankan capai 2 persen PDB
31 Juli 2019 14:54 WIB
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan (kedua dari kiri) dan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah (kedua dari kanan) di Jakarta, Rabu (31/7/2019). (ANTARA/Indra Arief Pribadi)
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menargetkan premi untuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) dapat terkumpul hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto yang terbentuk di 2017, dan dikenakan untuk jangka waktu pembayaran 30 tahun.
Premi yang ditujukan sebagai dana talangan dari dalam (bail in) jika terjadi krisis perbankan ini sudah tertuang dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP). Rancangan PP itu menunggu persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
"DI PP ada target dana Premi Restrukturisasi Perbankan itu hingga mencapai dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita pada 2017, tapi itu masih tergolong rendah," kata Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan usai jumpa pers perkembangan tingkat suku bunga penjaminan LPS di Jakarta, Rabu.
PDB yang menjadi patokan LPS untuk mengumpulkan premi itu adalah PDB Indonesia di 2017. PP untuk premi PRP itu adalah amanat dalam Undang-Undang PPKSK Nomor 9 Tahun 2016. Dalam UU tersebut, LPS diperbolehkan untuk mengenakan premi PRP kepada industri perbankan, sebagai dana talangan untuk menyelamatkan industri perbankan jika terjadi krisis.
Fauzi meminta semua kalangan melihat pengenaan Premi PRP ini dalam konteks yang menyeluruh. Dia memahami jika industri perbankan pada awalnya merasa keberatan, karena sudah terdapat pungutan lain yakni premi penjaminan LPS dan premi untuk Otoritas Jasa Keuangan.
Namun, kata Fauzi, target pengumpulan dana PRP hingga dua persen PDB masih relatif kecil. Sebagai gambaran, kata dia, sewaktu krisis moneter 1998, negara sampai mengucurkan dana hingga 60 persen dari PDB untuk memulihkan situasi ekonomi.
"Itu sangat rendah, dan kalau kita lihat biaya penyelamatan sektor perbankan pada periode 1998-1999 itu lebih dari 60 persen PDB," ujar dia.
Selain itu, besaran premi pun sangat kecil yakni berkisar antara 0 persen hingga yang maksimal adalah 0,007 persen dari total aset bank. Bank yang wajib membayar premi PRP itu hanya bank dengan nilai aset di atas Rp1 triliun. Sedangkan, bank yang memiliki aset di bawah Rp1 triliun dikenakan tarif nol persen alias gratis.
"Kita harus jalankan amanat UU PPKSK. Di satu sisi kita lakukan amanat UU, di sisi lain kita lihat kondisi perbankan. Apalagi perbankan kalau kita lihat saat ini Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 23 persen, Marjin Bunga Bersih (Net Interest Margin/NIM) juga tertinggi di Asia, bahkan di dunia, maka itu premi PRP tidak akan memberatkan," ujar Fauzi.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan aturan premi PRP sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk kekhawatiran para bankir mengenai besaran premi yang harus dibayarkan.
"Concern (kekhawatiran) bankir ini sudah dipertimbangkan sehingga tarif preminya tak memberatkan, bahkan ini sangat longgar menurut saya," ujarnya.
Selain itu, setelah PP mengenai Premi PRP ini disahkan Presiden Joko Widodo, LPS memberikan waktu transisi kepada perbankan sebelum membayar premi PRP. Namun Halim enggan merinci berapa lama masa transisi itu, dengan alasan menunggu persetujuan Presiden.
"Jadi tarifnya sangat kecil. Dan bank-bank kecil dengan total aset di bawah Rp1 triliun termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tingkat preminya adalah nol persen atau sama sekali tidak perlu bayar. Dan ini akan dikenakan selama 30 tahun dengan target yang menggunakan PDB tahun 2017 bukan PDB 2019," ujar Halim.
Baca juga: LPS: dana premi restrukturisasi 2-3 persen PDB
Baca juga: LPS akan minta premi baru kepada perbankan
Premi yang ditujukan sebagai dana talangan dari dalam (bail in) jika terjadi krisis perbankan ini sudah tertuang dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP). Rancangan PP itu menunggu persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
"DI PP ada target dana Premi Restrukturisasi Perbankan itu hingga mencapai dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita pada 2017, tapi itu masih tergolong rendah," kata Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan usai jumpa pers perkembangan tingkat suku bunga penjaminan LPS di Jakarta, Rabu.
PDB yang menjadi patokan LPS untuk mengumpulkan premi itu adalah PDB Indonesia di 2017. PP untuk premi PRP itu adalah amanat dalam Undang-Undang PPKSK Nomor 9 Tahun 2016. Dalam UU tersebut, LPS diperbolehkan untuk mengenakan premi PRP kepada industri perbankan, sebagai dana talangan untuk menyelamatkan industri perbankan jika terjadi krisis.
Fauzi meminta semua kalangan melihat pengenaan Premi PRP ini dalam konteks yang menyeluruh. Dia memahami jika industri perbankan pada awalnya merasa keberatan, karena sudah terdapat pungutan lain yakni premi penjaminan LPS dan premi untuk Otoritas Jasa Keuangan.
Namun, kata Fauzi, target pengumpulan dana PRP hingga dua persen PDB masih relatif kecil. Sebagai gambaran, kata dia, sewaktu krisis moneter 1998, negara sampai mengucurkan dana hingga 60 persen dari PDB untuk memulihkan situasi ekonomi.
"Itu sangat rendah, dan kalau kita lihat biaya penyelamatan sektor perbankan pada periode 1998-1999 itu lebih dari 60 persen PDB," ujar dia.
Selain itu, besaran premi pun sangat kecil yakni berkisar antara 0 persen hingga yang maksimal adalah 0,007 persen dari total aset bank. Bank yang wajib membayar premi PRP itu hanya bank dengan nilai aset di atas Rp1 triliun. Sedangkan, bank yang memiliki aset di bawah Rp1 triliun dikenakan tarif nol persen alias gratis.
"Kita harus jalankan amanat UU PPKSK. Di satu sisi kita lakukan amanat UU, di sisi lain kita lihat kondisi perbankan. Apalagi perbankan kalau kita lihat saat ini Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 23 persen, Marjin Bunga Bersih (Net Interest Margin/NIM) juga tertinggi di Asia, bahkan di dunia, maka itu premi PRP tidak akan memberatkan," ujar Fauzi.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan aturan premi PRP sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk kekhawatiran para bankir mengenai besaran premi yang harus dibayarkan.
"Concern (kekhawatiran) bankir ini sudah dipertimbangkan sehingga tarif preminya tak memberatkan, bahkan ini sangat longgar menurut saya," ujarnya.
Selain itu, setelah PP mengenai Premi PRP ini disahkan Presiden Joko Widodo, LPS memberikan waktu transisi kepada perbankan sebelum membayar premi PRP. Namun Halim enggan merinci berapa lama masa transisi itu, dengan alasan menunggu persetujuan Presiden.
"Jadi tarifnya sangat kecil. Dan bank-bank kecil dengan total aset di bawah Rp1 triliun termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tingkat preminya adalah nol persen atau sama sekali tidak perlu bayar. Dan ini akan dikenakan selama 30 tahun dengan target yang menggunakan PDB tahun 2017 bukan PDB 2019," ujar Halim.
Baca juga: LPS: dana premi restrukturisasi 2-3 persen PDB
Baca juga: LPS akan minta premi baru kepada perbankan
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: