Penderes nira di Kulon Progo tidak memiliki jaminan keselamatan
30 Juli 2019 18:40 WIB
salah Penderes Sukijo, 59, warga Dusun Tangkisan 3, Desa Hargomulyo, yang mengalami kelumpuhan sejak 14 Agustus 2018. Sukijo dan penderes lainnya tidak mendapat jaminan keselatan dari pemkab. Di Kulon Progo terdapat 5.000 penderes. (Foto ANTARA/Sutarmi)
Kulon Progo (ANTARA) - Penderes nira di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak memiliki jaminan keselamatan dari pemerintah setempat, salah satunya Sukijo, 59, warga Dusun Tangkisan 3, Desa Hargomulyo, yang mengalami kelumpuhan sejak 14 Agustus 2018.
Sukijo di Kulon Progo, Selasa, mengatakan dirinya jatuh dari pohon kelapa dengan ketinggian sembilan meter saat menderes pada Agustus 2018.
"Saya terjatuh dari pohon kepala sudah satu tahun. Saat ini, saya lumpuh tidak bisa jalan dan berdiri. Saya tidak pernah mendapat jaminan keselamatan dari pemkab," kata Sukijo.
Ia menceritakan dirinya jatuh ketinggian delapan meter karena salah memegang pelepah pohon kelapa. Ia jatuh namun tidak pingsan. Ia sadar ketika itu bahwa dirinya tidak lagi bisa merasakan kedua tungkai kakinya.
Terpaksa ia berobat di rumah sakit. Namun, harapannya untuk bisa berjalan juga pupus setelah keluar masuk rumah sakit dan pengobatan alternatif yang tidak juga menunjukkan hasil.
"Saya sudah dibawa ke rumah sakit sampai pengobatan alternatif, tapi tidak sembuh-sembuh. Saya sudah pasrah," kata Sukijo terdiam sesaat saat menceritakan kejadian naas saat itu. Ia bertahan hidup mengingat anaknya masih kecil.
Menderes atau menyadap nira merupakan pekerjaan pokok dirinya sepulang dari merantau dari berbagai daerah di Indonesia, baik Sumatera dam Jawa Barat, 19 tahun lamanya.
Ia kembali ke Tangkisan 2006. Sekembalinya ke Hargomulyo, lulusan sekolah dasar ini menekuni kegiatan membuat gula merah.
Ia menceritakan mampu memanjat 13 pohon kelapa dalam satu hari, yakni pada 06.00 WIB hingga 06.30 dan 16.00 WIB hingga 18.00 WIB. Selain memanjat, ia juga sekaligus memasak nira itu menjadi gula merah atau gula Jawa.
"Dalam satu hari, saya bisa memasak gula jawa sebanyak 3-4 kilogram. Kemudian saya jual untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saat ini, harga gula Jawa berkisar Rp10 ribu perkilogram," kata Sukijo berkaca-kaca.
Dia mengatakan sebelum kejadian naas yang menyebabkan dirinya lumpuh, pernah jatuh sebelumnya. "Saya dua kali terjatuh dari pohon kelapa," katanya.
Sementara itu, Ketua RT 79 Tangkisan 3 Trisno Pratondo mengatakan Sukijo mendapat bantuan dari saudara-saudaranya setelah mengalami musibah itu. Begitu juga dengan anaknya,
Putri Devi Nur’aini (9).
"Sukijo dibantu tetangga dan saudara-saudaranya. Anaknya masih kecil, dan sukijo tidak bisa jalan dan berdiri," katanya.
Ia mengatakan Sukijo mendapat bantuan Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) dan bantuan pangan dari pemerintah, sehingga dapat menopang kebutuhan Sukijo dan putrinya," kata dia.
"Bantuan kebutuhan pokok setiap bulannya dari pemerintah dapat mencukupi mereka, selain bantuan lainnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Dukuh Tangkisan 3 Riana Heni Suyanti mengatakan risiko penyadap nira memang begitu tinggi. Produksi gula kelapa ini juga tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung penderes nira.
"Saat musim hujan, pohon menjadi licin dan perlu sangat hati-hati. Kami berharap pemkab memberikan jaminan keselamatan bagi penderes nira,” kata Riana.
Baca juga: BPJS Kesehatan gelontorkan Rp8,9 triliun biaya pengobatan warga Sumbar
Baca juga: Ratusan nelayan di Minahasa Tenggara dapat jaminan asuransi
Sukijo di Kulon Progo, Selasa, mengatakan dirinya jatuh dari pohon kelapa dengan ketinggian sembilan meter saat menderes pada Agustus 2018.
"Saya terjatuh dari pohon kepala sudah satu tahun. Saat ini, saya lumpuh tidak bisa jalan dan berdiri. Saya tidak pernah mendapat jaminan keselamatan dari pemkab," kata Sukijo.
Ia menceritakan dirinya jatuh ketinggian delapan meter karena salah memegang pelepah pohon kelapa. Ia jatuh namun tidak pingsan. Ia sadar ketika itu bahwa dirinya tidak lagi bisa merasakan kedua tungkai kakinya.
Terpaksa ia berobat di rumah sakit. Namun, harapannya untuk bisa berjalan juga pupus setelah keluar masuk rumah sakit dan pengobatan alternatif yang tidak juga menunjukkan hasil.
"Saya sudah dibawa ke rumah sakit sampai pengobatan alternatif, tapi tidak sembuh-sembuh. Saya sudah pasrah," kata Sukijo terdiam sesaat saat menceritakan kejadian naas saat itu. Ia bertahan hidup mengingat anaknya masih kecil.
Menderes atau menyadap nira merupakan pekerjaan pokok dirinya sepulang dari merantau dari berbagai daerah di Indonesia, baik Sumatera dam Jawa Barat, 19 tahun lamanya.
Ia kembali ke Tangkisan 2006. Sekembalinya ke Hargomulyo, lulusan sekolah dasar ini menekuni kegiatan membuat gula merah.
Ia menceritakan mampu memanjat 13 pohon kelapa dalam satu hari, yakni pada 06.00 WIB hingga 06.30 dan 16.00 WIB hingga 18.00 WIB. Selain memanjat, ia juga sekaligus memasak nira itu menjadi gula merah atau gula Jawa.
"Dalam satu hari, saya bisa memasak gula jawa sebanyak 3-4 kilogram. Kemudian saya jual untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saat ini, harga gula Jawa berkisar Rp10 ribu perkilogram," kata Sukijo berkaca-kaca.
Dia mengatakan sebelum kejadian naas yang menyebabkan dirinya lumpuh, pernah jatuh sebelumnya. "Saya dua kali terjatuh dari pohon kelapa," katanya.
Sementara itu, Ketua RT 79 Tangkisan 3 Trisno Pratondo mengatakan Sukijo mendapat bantuan dari saudara-saudaranya setelah mengalami musibah itu. Begitu juga dengan anaknya,
Putri Devi Nur’aini (9).
"Sukijo dibantu tetangga dan saudara-saudaranya. Anaknya masih kecil, dan sukijo tidak bisa jalan dan berdiri," katanya.
Ia mengatakan Sukijo mendapat bantuan Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) dan bantuan pangan dari pemerintah, sehingga dapat menopang kebutuhan Sukijo dan putrinya," kata dia.
"Bantuan kebutuhan pokok setiap bulannya dari pemerintah dapat mencukupi mereka, selain bantuan lainnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Dukuh Tangkisan 3 Riana Heni Suyanti mengatakan risiko penyadap nira memang begitu tinggi. Produksi gula kelapa ini juga tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung penderes nira.
"Saat musim hujan, pohon menjadi licin dan perlu sangat hati-hati. Kami berharap pemkab memberikan jaminan keselamatan bagi penderes nira,” kata Riana.
Baca juga: BPJS Kesehatan gelontorkan Rp8,9 triliun biaya pengobatan warga Sumbar
Baca juga: Ratusan nelayan di Minahasa Tenggara dapat jaminan asuransi
Pewarta: Sutarmi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: