Produksi bijih turun 50 persen, Freeport yakin kembali optimal 2022
28 Juli 2019 12:38 WIB
Direktur Utama PT FI Tony Wenas dan Menteri BUMN Rini Soemarno (jajaran bawah) di tambang bawah tanah Grasberg, Mimika, Minggu (28/7) (ANTARA/Indra Arief Pribadi)
Mimika (ANTARA) - PT Freeport Indonesia (PT FI) meyakini proses transisi dari pertambangan terbuka ke pertambangan bawah tanah akan berjalan mulus, sehingga perusahaan menargetkan kapasitas produksi bijih (ore) akan kembali pulih pada 2022 menjadi 200.000 ton per hari dari saat ini sebesar 120.000ton per hari.
Saat ini karena sedang berlangsung proses transisi penambangan, kapasitas produksi Freeport berkurang hingga 50 persen dari total kapasitas semula. Proses pertambangan terbuka diperkirakan akan selesai pada akhir 2019, dan saat itu proses pertambangan Freeport akan dilakukan di bawah tanah (underground mining).
"Produksinya memang berkurang 40 hingga 50 persen. Namun pada 2021 sudah mulai naik lagi signifikan, dan 2022 bisa kembali normal," ujar Direktur Utama PT FI Tony Wenas di pertambangan bawah tanah Grasberg, Mimika, Papua, Minggu.
Bijih yang ditambang itu nantinya akan diolah untuk menghasilkan konsentrat tembaga dan emas melalui proses memisahkan mineral berharga dari pengotor yang menutupinya.
Pada 2019 PT Freeport Indonesia sudah mengucurkan investasi satu miliar dolar AS untuk mengembangkan tambang bawah tanah tersebut. Hingga 2041, total investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 15 miliar dolar AS.
"Sudah dimulai sebenarnya untuk pertambangan bawah tanah (undergrund pit) tapi belum maksimal. Bisa maksimal kalau yang tambang terbuka (open pit) selesai. Jadi ada transisi, ada overlap sedikit supaya kita tidak rugi produksi dan supaya tetap aman dilakukan," ujar dia.
Dengan berkurangnya produksi, Tony mengakui akan terjadi penurunan pendapatan dengan besaran hingga 40 persen-50 persen.
"Pendapatan tentunya berkurang kira-kira hampir sama di 40-50 persen tapi kita masih tetap profitable (menguntungkan). Cuma kas dipergunakan untuk pengembangan tambang bawah tanah," ujar dia.
Untuk mengoptimalkan produksi pada 2022 itu, selama 2-3 tahun ke depan, sejumlah infrastruktur untuk pertambangan bawah tanah terus dibangun, seperti terowongan bawah tanah yang mencapai 700 kilometer, infrastruktur penghancuran bebatuan yang menghalangi bijih, infrastruktur pengerukan, dan pengangkutan.
Cadangan hasil tambang di bawah tanah Grasberg masih besar. Terdapat sekitar empat area penambangan bawah tanah yakni lapisan deep ore zone (DOZ), dan deep milll level zone (DMLZ). Sejalan dengan itu, Freeport juga melakukan pengembangan di big gossan stope (BGS) dan grasberg block cave (GBC).
Di kesempatan terpisah, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan masa transisi dari produksi tambang terbuka (open pit) ke aktivitas pengerukan emas tambang bawah tanah (underground) memang menjadi salah satu tantangan perusahaan yang 51 persen sahamnya kini dimiliki Indonesia.
"Harus hati-hati, kami melihat ini sudah ada underground mining tapi beberapa titik-titik yang lebih kecil, ternyata kalau tidak dijaga dengan hati-hati itu air juga mulai masuk. Itu bisa membuat sulit pengambilan dari mineralnya sehingga yang harus dijaga," ujarnya.
Per akhir 2018 Indonesia secara sah memiliki 51 persen saham Freeport setelah BUMN PT Indonesia Asahan Analum (Inalum) menyepakati persetujuan penjualan dan pembelian (Sales Purchase Agreement/SPA) dengan Freeport Mcmoran Inc dan Rio Tinto.
Saat ini kepemilikan PT Freeport Indonesia adalah 26,24 persen milik PT Inalum, 25 persen PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM), dan 48,76 persen Freeport McMoran Inc.
Saat ini karena sedang berlangsung proses transisi penambangan, kapasitas produksi Freeport berkurang hingga 50 persen dari total kapasitas semula. Proses pertambangan terbuka diperkirakan akan selesai pada akhir 2019, dan saat itu proses pertambangan Freeport akan dilakukan di bawah tanah (underground mining).
"Produksinya memang berkurang 40 hingga 50 persen. Namun pada 2021 sudah mulai naik lagi signifikan, dan 2022 bisa kembali normal," ujar Direktur Utama PT FI Tony Wenas di pertambangan bawah tanah Grasberg, Mimika, Papua, Minggu.
Bijih yang ditambang itu nantinya akan diolah untuk menghasilkan konsentrat tembaga dan emas melalui proses memisahkan mineral berharga dari pengotor yang menutupinya.
Pada 2019 PT Freeport Indonesia sudah mengucurkan investasi satu miliar dolar AS untuk mengembangkan tambang bawah tanah tersebut. Hingga 2041, total investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 15 miliar dolar AS.
"Sudah dimulai sebenarnya untuk pertambangan bawah tanah (undergrund pit) tapi belum maksimal. Bisa maksimal kalau yang tambang terbuka (open pit) selesai. Jadi ada transisi, ada overlap sedikit supaya kita tidak rugi produksi dan supaya tetap aman dilakukan," ujar dia.
Dengan berkurangnya produksi, Tony mengakui akan terjadi penurunan pendapatan dengan besaran hingga 40 persen-50 persen.
"Pendapatan tentunya berkurang kira-kira hampir sama di 40-50 persen tapi kita masih tetap profitable (menguntungkan). Cuma kas dipergunakan untuk pengembangan tambang bawah tanah," ujar dia.
Untuk mengoptimalkan produksi pada 2022 itu, selama 2-3 tahun ke depan, sejumlah infrastruktur untuk pertambangan bawah tanah terus dibangun, seperti terowongan bawah tanah yang mencapai 700 kilometer, infrastruktur penghancuran bebatuan yang menghalangi bijih, infrastruktur pengerukan, dan pengangkutan.
Cadangan hasil tambang di bawah tanah Grasberg masih besar. Terdapat sekitar empat area penambangan bawah tanah yakni lapisan deep ore zone (DOZ), dan deep milll level zone (DMLZ). Sejalan dengan itu, Freeport juga melakukan pengembangan di big gossan stope (BGS) dan grasberg block cave (GBC).
Di kesempatan terpisah, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan masa transisi dari produksi tambang terbuka (open pit) ke aktivitas pengerukan emas tambang bawah tanah (underground) memang menjadi salah satu tantangan perusahaan yang 51 persen sahamnya kini dimiliki Indonesia.
"Harus hati-hati, kami melihat ini sudah ada underground mining tapi beberapa titik-titik yang lebih kecil, ternyata kalau tidak dijaga dengan hati-hati itu air juga mulai masuk. Itu bisa membuat sulit pengambilan dari mineralnya sehingga yang harus dijaga," ujarnya.
Per akhir 2018 Indonesia secara sah memiliki 51 persen saham Freeport setelah BUMN PT Indonesia Asahan Analum (Inalum) menyepakati persetujuan penjualan dan pembelian (Sales Purchase Agreement/SPA) dengan Freeport Mcmoran Inc dan Rio Tinto.
Saat ini kepemilikan PT Freeport Indonesia adalah 26,24 persen milik PT Inalum, 25 persen PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM), dan 48,76 persen Freeport McMoran Inc.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: