Jakarta (ANTARA) - "Aku mulai merasa baik dalam situasi terburuk. Dan untuk sesaat, hari ini adalah milikku."

Itulah penggalan monolog dari tokoh Nic Sheff dalam film "Beautiful Boy" (2018) menggambarkan perasaan yang ia dapatkan setelah ia mengonsumsi narkoba di tengah dunianya yang tak pernah beristirahat dari kesibukan.

Nic Sheff dikisahkan sebagai seorang anak jurnalis berprestasi, berbakat dalam berbagai bidang, serta memiliki pergaulan luas. Namun, di balik segala gemerlap dan sorotan yang ia dapatkan dan miliki, Nic rupanya memiliki masalah dengan obat-obatan terlarang dan mengacaukan hidupnya perlahan-lahan.

Kisah Nic lalu mengingatkan kita pada tiga pekerja seni dan hiburan tanah air, yakni komedian Nunung Srimulat, aktor Jefri Nichol dan sutradara Robby Ertanto, harus ditangkap karena penggunaan narkoba pada sepekan belakangan ini.

Tak jauh berbeda dari Nic, alasan penggunaan ganja yang diungkapkan Jefri Nichol adalah untuk membantunya agar dapat menjadi lebih tenang dan mampu beristirahat.

"Ini karena saya enggak bisa beristirahat dengan baik. Akhirnya kebodohan saya mencoba itu (ganja, red) untuk bisa lebih rileks dan bisa tidur," ungkap Jefri, Rabu (24/7).

Sedangkan komedian Nunung Srimulat, kendati sempat berhenti menggunakan narkoba, ia kembali mengonsumsi barang haram itu untuk meningkatkan performa di tengah banyaknya pekerjaan yang ia ambil dan harus selesaikan di depan layar kaca.

"Karena mungkin saya ngambil sinetron yang pagi harus syuting, terus sore ada tapping, malem ada live, ya mungkin biar saya gak capek. Jadi terbesit lagi di pikiran saya itu (untuk pakai narkoba, red)," ungkap Nunung di sebuah wawancara televisi, Senin (22/7).

Melihat fenomena ini, dorongan untuk menggunakan narkoba tidak hanya berasal dari lingkaran pergaulan yang selama ini digadang-gadang menjadi alasan utama si pengguna menjadi terjerumus untuk mencoba.

Padahal, jika dicermati lebih dalam dari kedua pernyataan kedua figur publik tersebut, dorongan itu juga berasal dari diri sendiri yakni keadaan dan faktor psikologis selebritas yang dituntut untuk selalu prima dan sempurna di depan kamera.

Pelarian dan adiksi
"Semua orang punya kemungkinan untuk mencoba NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif ​​​) terkait waktu dengan hidupnya," kata dr Gina Anindyajati membuka pembicaraan mengenai artis dan narkoba, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (25/7).

Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta itu lalu membenarkan bahwa motivasi penggunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) beragam dan didukung oleh beberapa faktor, yakni biologis, psikologis, dan sosial.

Di panggung hiburan yang menuntut para pekerjanya untuk terus prima dan kreatif, beresiko menimbulkan tekanan sehingga menuntun mereka untuk mencoba NAPZA.

Penggunaan NAPZA yang digunakan Nunung dan Jefri Nichol, yakni sabu-sabu dan ganja, merupakan golongan yang berbeda dan menghasilkan efek yang berbeda pula bagi para penggunanya.

Sabu-sabu merupakan narkoba yang mengandung methamphetamine. Narkoba golongan ini memiliki efek yang bersifat stimulan, sehingga dapat meningkatkan semangat dan performa kerja.

Sedangkan ganja yang merupakan daun, bunga, dan tunas tanaman Cannabis sativa, masuk dalam golongan antidepresan. Ganja dapat menimbulkan efek rileks dan mengalihkan stres sesaat.

Penggunaan obat-obatan terlarang secara terus-menerus, Gina melanjutkan, dapat mengantarkan si pengguna kepada resiko ketergantungan atau adiksi, yang menyebabkan gangguan sistem mekanisme penghargaan (reward mechanism system) di dalam otak.

"Adiksi merupakan brain disease, penyakit yang terjadinya di otak dan menyebabkan adanya gangguan dalam sistem mekanisme reward-nya," jelas dia.

Sistem mekanisme penghargaan di dalam otak menghasilkan dorongan-dorongan bagi manusia untuk terus melakukan hal-hal yang membuat hati merasa senang. Misalnya dengan makan atau belanja bisa membuat seseorang merasa senang, otak akan mengaktifkan sistem tersebut sebagai "pelarian" agar kita bisa merasa senang dan lebih baik.

"Pun dengan orang menggunakan NAPZA. Jadi muncul itu reward system-nya, teraktivasi. Dan orang kalau senang pasti ada dorongan buat dia untuk melakukan itu lagi, dan lagi," ujar Gina menjelaskan.

Hal serupa disampaikan Kepala Rehabilitasi Badan Narkotika Provinsi (BNNP) DKI Jakarta, dr. Wahyu Wulandari belum lama ini. Menurut dia, adiksi merupakan penyakit yang kronis dan berdampak seumur hidup.

"Itu seumur hidup sebenarnya dampaknya, seperti penyakit-penyakit kronis lainnya. Tingkat ketergantungannya sangat kuat, jadi keinginan (menggunakan narkoba, red) itu bisa terus ada," ujar dia.

Melawan adiksi
Melawan adiksi atau kecanduan, biasa dilakukan melalui rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional (BNN) atau di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dengan beberapa tahapan.

Yang pertama adalah rehabilitasi medis. Pecandu akan mengikuti proses pengeluaran racun-racun dari tubuh.

Proses itu, menurut dr Wahyu, adalah tahapan standar yang wajib dijalani pecandu rawat inap di fasilitas rehabilitasi BNN.

Namun, sama seperti menjerumuskan diri ke dalam konsumsi obat-obatan terlarang, untuk melawan adiksi juga diperlukan dorongan yang sangat kuat dari dalam diri si pengguna narkoba agar terlepas dari jeratan candu tersebut.

"Bagaimana dia memelihara dirinya biar terus bersih ya tergantung dari yang bersangkutan," kata dr Wahyu.

Ia menilai bahwa adiksi tak hanya membuat masalah di tubuh si pengguna, melainkan juga pola pikir dan gaya hidupnya juga terdapat masalah di dalamnya, seperti masalah keluarga atau psikologis, sehingga perlu digali dan dipulihkan.

"Namun, pemulihan pola pikir ini juga tidak sebentar. Apalagi buat yang udah pakai bertahun-tahun. Itu perubahannya yang harus dicapai lebih susah karena mereka (pecandu, red) sudah punya pola gitu. Makanya harus selalu dipelihara dan dipertahankan," jelas Wahyu.

Tak jauh berbeda, dr Gina mengatakan bahwa setiap orang dibekali dengan kemampuan dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Entah masalah pekerjaan yang membuatnya tertekan dan mendorongnya untuk mencoba lari kepada narkotika dan menimbulkan masalah baru.

Sebagai upaya pemulihan atau bahkan pencegahan, Gina menganjurkan untuk menjadi adaptif dan "sadar" pada saat sedang dilanda masalah, serta terus berupaya mengenali diri sendiri.

Adaptif adalah bagaimana seseorang bisa belajar untuk menghadapi situasi dan masalah. Sedangkan mengenali diri sendiri, adalah bagaimana kita tahu apa yang bisa membantu kita untuk berpikir jernih sehingga masalah dapat diatasi.

"Sebenarnya cara saya menyelesaikan masalah ini seperti apa sih? Apa saya harus olahraga atau relaksasi biar bisa berpikir jernih? Atau mungkin bercerita dengan orang lain? Nah itu yang harus kita kenali dari diri kita masing-masing," kata Gina.

Kesempatan
Tak dapat dipungkiri bahwa stigma negatif di masyarakat terhadap pecandu atau mantan pecandu narkoba masih ada. Menurut dr Gina, stigma ini terus ada karena pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa sekali menjadi pecandu, ia akan selalu menjadi seperti itu.

"Adiksi adalah sebuah penyakit otak yang sifatnya kronik sehingga ada resiko untuk mengalami kekambuhan di masa mendatang, walau sudah mendapatkan perlakuan untuk adiksinya. Dan inilah yang membuat masyarakat memiliki stigma itu," jelas dia.

Melalui stigma ini, masyarakat membuat label buruk bagi para mantan pecandu, yang kemudian menghilangkan kesempatannya untuk berpartisipasi di kehidupan masyarakat.

Padahal, lanjut Gina, semakin dia dibatasi kesempatannya untuk berkontribusi di masyarakat, dia akan semakin terisolir, semakin tidak ada aktivitas yang tidak bisa dia lakukan, dan pilihan-pilihannya pun juga semakin sedikit.

"Sehingga bagaimana kita mau melatih dia untuk menyelesaikan dan menghadapi masalah kalau dia sendiri tidak kita beri kesempatan?" ujarnya.

Selain dari masyarakat, dr. Wahyu Wulandari mengatakan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting bagi proses pemulihan pengguna narkoba.

Wahyu lalu menceritakan bagaimana kepercayaan dari keluarga lah hal yang paling utama bagi mantan pecandu untuk tidak merasa tertekan maupun terkucilkan, serta terus semangat untuk melanjutkan hidup.

"Dia (mantan pecandu narkoba) sudah menjalankan rehabilitasi dengan baik, ini juga diimbangi dari keluarganya, harus bisa percaya. Jangan sampai ia berpikir buat apa udah menjalankan rehab dengan baik kok malah tidak dipercaya," ujarnya.

Dengan dirangkul dan diberikannya rasa percaya kepada para mantan pengguna ini, ia berharap mereka dapat menjadi produktif, bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, dan mampu memulai hidup baru yang lebih baik.

Dan tentu saja, agaknya semua bersepakat bahwa dengan memberikan kesempatan, para mantan pecandu ini bisa berada di utopia nyata yang selama ini impikan dan dambakan.