Bayi orang utan di Ketapang diselamatkan
26 Juli 2019 14:32 WIB
BKSDA Kalbar Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang bekerja sama dengan IAR Indonesia kembali menyelamatkan satu bayi orang utan peliharaan di Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang. (Istimewa)
Pontianak (ANTARA) - Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bekerja sama dengan International Animal Rescue (IAR) Indonesia kembali menyelamatkan satu bayi orang utan peliharaan di Desa Krio Hulu, Kabupaten Ketapang.
Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez, dalam keterangan tertulis kepada ANTARA di Pontianak, Jumat, mengatakan orang utan berjenis kelamin betina itu oleh pemiliknya diberi nama Kenaya yang diperkirakan berusia satu tahun.
Menurut pengakuan pemeliharanya, Kenaya ditemukan ketika dirinya sedang menebang pohon di Bukit Kenaya.
"Induknya mati, karena kasihan kemudian dibawa ke rumahnya dan dipelihara selama empat bulan, dengan kondisi leher dirantai di sebatang pohon di belakang rumah dekat kandang babi dan diberi makan nasi dan lauk yang biasa dimakan oleh pemeliharanya," ungkapnya.
Ia menambahkan kegiatan penyelamatan itu bermula dari laporan warga yang menginformasikan ada salah seorang penduduk desa yang memelihara orang utan di Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai.
Menanggapi laporan itu, IAR Indonesia mengirimkan tim untuk melakukan verifikasi laporan, dan hasilnya memang ada seorang warga yang memelihara orang utan secara ilegal di rumah itu.
Tim gabungan Wildlife Rescue Unit Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia kemudian mengevakuasi orang utan tersebut.
Berdasarkan pemeriksaan, Kenaya menderita penyakit kulit dan diduga menderita penyakit pernapasan, sehingga langsung dibawa ke fasilitas pusat rehabilitasi satwa di Ketapang. Selanjutnya Kenaya akan menjalani masa karantina selama delapan minggu.
"Walaupun pemeliharaan orang utan merupakan pelanggaran hukum, tetapi masih dianggap hal yang biasa di Kabupaten Ketapang, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Padahal pada kasus pemeliharaan bayi orang utan, hampir dapat dipastikan bahwa induk orang utan dibunuh untuk mendapatkan anaknya, dan normalnya, bayi orang utan akan tinggal bersama induknya sampai usia enam hingga delapan tahun," ujarnya.
Ia menambahkan ada perubahan positif di masyarakat Ketapang karena jumlah orang utan yang dipelihara semakin karena mereka sudah mengerti mengenai pentingnya perlindungan terhadap orang utan.
"Kami sangat mengapresiasi peran dari masyarakat dalam melaporkan keberadaan orang utan yang menjadi satwa yang diperdagangkan dan dipelihara secara ilegal," katanya.
Kepala BKSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan masih seringnya dijumpai pemeliharaan orang utan oleh masyarakat dan gangguan terhadap habitatnya harus menjadi peringatan bagi para pejuang konservasi bahwa ternyata pola pikir masyarakat terhadap perlindungan tanaman dan satwa liar (TSL) dilindungi belum terbentuk secara memadai.
"Kegiatan-kegiatan penyelamatan yang selama ini sudah dilakukan akan terus berulang dan berulang kembali. Sudah saatnya kita juga harus lebih fokus pada pembentukan persepsi dan perilaku masyarakat yang benar terhadap konservasi TSL dilindungi tersebut," katanya.
Ia mengatakan kampanye dan pendidikan lingkungan mestinya dijalankan lebih masif lagi, termasuk kepada generasi muda dan anak-anak sekolah.
"Ke depannya kami berharap masyarakatlah yang akan menjadi pejuang-pejuang konservasi," katanya.
Baca juga: Orang utan dikhawatirkan punah akibat pembangunan PLTA Batang Toru
Baca juga: Karantina Bandara Bali gagalkan penyelundupan orang utan ke Rusia
Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez, dalam keterangan tertulis kepada ANTARA di Pontianak, Jumat, mengatakan orang utan berjenis kelamin betina itu oleh pemiliknya diberi nama Kenaya yang diperkirakan berusia satu tahun.
Menurut pengakuan pemeliharanya, Kenaya ditemukan ketika dirinya sedang menebang pohon di Bukit Kenaya.
"Induknya mati, karena kasihan kemudian dibawa ke rumahnya dan dipelihara selama empat bulan, dengan kondisi leher dirantai di sebatang pohon di belakang rumah dekat kandang babi dan diberi makan nasi dan lauk yang biasa dimakan oleh pemeliharanya," ungkapnya.
Ia menambahkan kegiatan penyelamatan itu bermula dari laporan warga yang menginformasikan ada salah seorang penduduk desa yang memelihara orang utan di Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai.
Menanggapi laporan itu, IAR Indonesia mengirimkan tim untuk melakukan verifikasi laporan, dan hasilnya memang ada seorang warga yang memelihara orang utan secara ilegal di rumah itu.
Tim gabungan Wildlife Rescue Unit Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia kemudian mengevakuasi orang utan tersebut.
Berdasarkan pemeriksaan, Kenaya menderita penyakit kulit dan diduga menderita penyakit pernapasan, sehingga langsung dibawa ke fasilitas pusat rehabilitasi satwa di Ketapang. Selanjutnya Kenaya akan menjalani masa karantina selama delapan minggu.
"Walaupun pemeliharaan orang utan merupakan pelanggaran hukum, tetapi masih dianggap hal yang biasa di Kabupaten Ketapang, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Padahal pada kasus pemeliharaan bayi orang utan, hampir dapat dipastikan bahwa induk orang utan dibunuh untuk mendapatkan anaknya, dan normalnya, bayi orang utan akan tinggal bersama induknya sampai usia enam hingga delapan tahun," ujarnya.
Ia menambahkan ada perubahan positif di masyarakat Ketapang karena jumlah orang utan yang dipelihara semakin karena mereka sudah mengerti mengenai pentingnya perlindungan terhadap orang utan.
"Kami sangat mengapresiasi peran dari masyarakat dalam melaporkan keberadaan orang utan yang menjadi satwa yang diperdagangkan dan dipelihara secara ilegal," katanya.
Kepala BKSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan masih seringnya dijumpai pemeliharaan orang utan oleh masyarakat dan gangguan terhadap habitatnya harus menjadi peringatan bagi para pejuang konservasi bahwa ternyata pola pikir masyarakat terhadap perlindungan tanaman dan satwa liar (TSL) dilindungi belum terbentuk secara memadai.
"Kegiatan-kegiatan penyelamatan yang selama ini sudah dilakukan akan terus berulang dan berulang kembali. Sudah saatnya kita juga harus lebih fokus pada pembentukan persepsi dan perilaku masyarakat yang benar terhadap konservasi TSL dilindungi tersebut," katanya.
Ia mengatakan kampanye dan pendidikan lingkungan mestinya dijalankan lebih masif lagi, termasuk kepada generasi muda dan anak-anak sekolah.
"Ke depannya kami berharap masyarakatlah yang akan menjadi pejuang-pejuang konservasi," katanya.
Baca juga: Orang utan dikhawatirkan punah akibat pembangunan PLTA Batang Toru
Baca juga: Karantina Bandara Bali gagalkan penyelundupan orang utan ke Rusia
Pewarta: Andilala
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: