Alasan 95 persen produk baru gagal di pasar
24 Juli 2019 21:41 WIB
Managing Director dari Brand Finance Asia Pasifik Samir Dixit (kanan) dan Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopo (dua kanan) pada diskusi bertajuk "Packaging and Branding Industry 4.0" di Jakarta, Rabu. (Indonesia Packaging Federation)
Jakarta (ANTARA) - Managing Director dari Brand Finance Asia Pasifik Samir Dixit mengatakan setidaknya ada 95 persen produk baru yang gagal dipasaran karena kesalahan membuat merek dan kemasan atau "branding".
Dalam forum diskusi bertajuk "Packaging and Branding Industry 4.0" di Jakarta, Rabu, Samir menjelaskan bahwa sebuah brand memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh tidak hanya bagi konsumen sebagai "end-user" tetapi juga untuk pemegang saham dan nilai bisnis.
"Umumnya konsumen tidak punya waktu dan tenaga untuk membaca informasi baik buruknya sebuah produk. Contohnya berapa juta anda harus membayar untuk membeli sebuah logo apel pada 'handphone' anda. Betapa pentingnya branding dapat membuat orang untuk membeli barang itu," kata Samir.
Ia menjelaskan bahwa kunci dalam sebuah kemasan produk adalah mudah dikenali oleh konsumen, baik itu dari segi bentuk, warna dan grafis.
Salah satu perusahaan perhiasan ternama Tiffany & Co. tidak perlu mencantumkan tulisan merek, namun konsumen sudah bisa mengenali kotak kecil berwarna biru muda dengan hiasan pita putih yang membungkusnya, berisi produk perhiasan dari perusahaan tersebut.
Untuk mendesain ulang sebuah kemasan, perusahaan juga perlu hati-hati jangan sampai desain baru justru membuat konsumen tidak mengenali produk tersebut. Contohnya saja terjadi pada jus kotak Tropicana.
"Tropicana pernah membuat kesalahan pada re-desain produk mereka yang akhirnya malah menurunkan penjualan 20 persen atau setara 33 juta dolar AS," kata Samir.
Dalam kesempatan sama, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menilai industri kemasan di Indonesia saat ini tengah berada di masa pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni sekitar enam persen di tahun 2018.
"Di era industri 4.0 ini, yang perlu kita cermati adalah bagaimana kelangsungan bisnis industri kemasan dan turunannya bisa memberikan nilai lebih bagi konsumen serta memberi dampak baik bagi sekitarnya, mulai dari lingkungan, kualitas makanan/minuman, keamanan dan lainnya," kata Edy.
Saat ini nilai bisnis industri kemasan di Indonesia mencapai 6,85 juta dolar AS pada tahun 2018 atau sudah hampir Rp100 triliun. Dalam dua tahun mendatang, industri kemasan diprediksi akan tumbuh 8-9 persen.
Baca juga: Garuda perkenalkan "Gia Box", kemasan kargo ramah lingkungan
Baca juga: "Lip balm" kemasan unik yang populer di Korsel hadir di Indonesia
Dalam forum diskusi bertajuk "Packaging and Branding Industry 4.0" di Jakarta, Rabu, Samir menjelaskan bahwa sebuah brand memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh tidak hanya bagi konsumen sebagai "end-user" tetapi juga untuk pemegang saham dan nilai bisnis.
"Umumnya konsumen tidak punya waktu dan tenaga untuk membaca informasi baik buruknya sebuah produk. Contohnya berapa juta anda harus membayar untuk membeli sebuah logo apel pada 'handphone' anda. Betapa pentingnya branding dapat membuat orang untuk membeli barang itu," kata Samir.
Ia menjelaskan bahwa kunci dalam sebuah kemasan produk adalah mudah dikenali oleh konsumen, baik itu dari segi bentuk, warna dan grafis.
Salah satu perusahaan perhiasan ternama Tiffany & Co. tidak perlu mencantumkan tulisan merek, namun konsumen sudah bisa mengenali kotak kecil berwarna biru muda dengan hiasan pita putih yang membungkusnya, berisi produk perhiasan dari perusahaan tersebut.
Untuk mendesain ulang sebuah kemasan, perusahaan juga perlu hati-hati jangan sampai desain baru justru membuat konsumen tidak mengenali produk tersebut. Contohnya saja terjadi pada jus kotak Tropicana.
"Tropicana pernah membuat kesalahan pada re-desain produk mereka yang akhirnya malah menurunkan penjualan 20 persen atau setara 33 juta dolar AS," kata Samir.
Dalam kesempatan sama, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menilai industri kemasan di Indonesia saat ini tengah berada di masa pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni sekitar enam persen di tahun 2018.
"Di era industri 4.0 ini, yang perlu kita cermati adalah bagaimana kelangsungan bisnis industri kemasan dan turunannya bisa memberikan nilai lebih bagi konsumen serta memberi dampak baik bagi sekitarnya, mulai dari lingkungan, kualitas makanan/minuman, keamanan dan lainnya," kata Edy.
Saat ini nilai bisnis industri kemasan di Indonesia mencapai 6,85 juta dolar AS pada tahun 2018 atau sudah hampir Rp100 triliun. Dalam dua tahun mendatang, industri kemasan diprediksi akan tumbuh 8-9 persen.
Baca juga: Garuda perkenalkan "Gia Box", kemasan kargo ramah lingkungan
Baca juga: "Lip balm" kemasan unik yang populer di Korsel hadir di Indonesia
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: