Menlu RI-Latvia bahas isu sawit
19 Juli 2019 16:22 WIB
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi (kanan) dan Menteri Luar Negeri Latvia Edgars Rinkēvičs (kiri) berjabat tangan sebelum memulai pertemuan bilateral Jakarta, Jumat (19/7/2019). (ANTARA/Yashinta Difa)
Jakarta (ANTARA) -
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Latvia Edgars Rinkēvičs dalam pertemuan di Jakarta, Jumat, membahas sejumlah isu bilateral, salah satunya mengenai sawit.
“Latvia kan salah satu negara anggota Uni Eropa sehingga setiap kali Indonesia berbicara dengan negara anggota Uni Eropa selalu disampaikan concern kita (tentang sawit),” kata Menlu Retno usai pertemuan.
Pembahasan mengenai sawit menjadi penting karena separuh perdagangan Indonesia dan Latvia didominasi produk sawit.
“Menarik bahwa 50 persen ekspor kita yang (nilainya) terus naik itu isinya minyak sawit,” ujar Retno.
Nilai ekspor Indonesia ke Latvia pada 2016 sekitar 49,5 juta dolar AS, yang separuhnya atau 25 juta dolar AS adalah dari minyak sawit.
Tren positif itu berlanjut pada 2018 dengan peningkatan nilai ekspor Indonesia ke Latvia menjadi 133,7 juta dolar AS, yang 65 juta dolar AS di antaranya berasal dari minyak sawit.
Dalam konteks tersebut, Indonesia mengajak Latvia untuk melihat isu sawit dengan perbandingan data ilmiah dan pendekatan sertifikasi.
Sejak beberapa tahun terakhir, produk sawit Indonesia menghadapi kampanye negatif yang digalakkan di Uni Eropa. Produk Indonesia dinilai tidak dikelola dengan prinsip-prinsip berkelanjutan dan berbasis kelestarian lingkungan.
Kebijakan Delegated Act Uni Eropa dianggap telah mendiskriminasi minyak sawit dari jenis minyak nabati lainnya.
Minyak sawit diklasifikasikan sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan.
Indonesia bersama negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam CPOPC menganggap Delegated Act sebagai kompromi politik Uni Eropa, untuk mengisolasi dan menyingkirkan minyak sawit dari sektor energi terbarukan, dengan tujuan untuk menguntungkan minyak rapa produksi Uni Eropa dan minyak nabati terbarukan lain yang kurang kompetitif
Untuk melawan diskriminasi terhadap sawit, Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN-Uni Eropa ke-22 di Brussel pada Januari lalu, terus menyuarakan protes.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menegaskan bahwa minyak sawit berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sebagai komoditas strategis, sawit menjadi andalan sumber nafkah bagi sekitar 20 juta orang di Asia Tenggara, termasuk lima juta petani kecil di Indonesia.
“Jadi Indonesia sangat terbuka untuk bicara tetapi ya sekali lagi pada saat kemudian diperlakukan secara diskriminatif pasti kita akan berdiri,” tutur Menlu Retno.
Sementara itu, Menlu Latvia menekankan kepentingan hubungan yang adil dan seimbang antara kedua negara.
“Kita semua tertarik untuk menangani isu perubahan iklim, tetapi kita juga memahami diperlukannya kerja lanjutan antara Uni Eropa dan ASEAN terhadap sejumlah isu, termasuk mengenai ekspor minyak sawit,” tutur Menlu Rinkēvičs.
“Latvia kan salah satu negara anggota Uni Eropa sehingga setiap kali Indonesia berbicara dengan negara anggota Uni Eropa selalu disampaikan concern kita (tentang sawit),” kata Menlu Retno usai pertemuan.
Pembahasan mengenai sawit menjadi penting karena separuh perdagangan Indonesia dan Latvia didominasi produk sawit.
“Menarik bahwa 50 persen ekspor kita yang (nilainya) terus naik itu isinya minyak sawit,” ujar Retno.
Nilai ekspor Indonesia ke Latvia pada 2016 sekitar 49,5 juta dolar AS, yang separuhnya atau 25 juta dolar AS adalah dari minyak sawit.
Tren positif itu berlanjut pada 2018 dengan peningkatan nilai ekspor Indonesia ke Latvia menjadi 133,7 juta dolar AS, yang 65 juta dolar AS di antaranya berasal dari minyak sawit.
Dalam konteks tersebut, Indonesia mengajak Latvia untuk melihat isu sawit dengan perbandingan data ilmiah dan pendekatan sertifikasi.
Sejak beberapa tahun terakhir, produk sawit Indonesia menghadapi kampanye negatif yang digalakkan di Uni Eropa. Produk Indonesia dinilai tidak dikelola dengan prinsip-prinsip berkelanjutan dan berbasis kelestarian lingkungan.
Kebijakan Delegated Act Uni Eropa dianggap telah mendiskriminasi minyak sawit dari jenis minyak nabati lainnya.
Minyak sawit diklasifikasikan sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan.
Indonesia bersama negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam CPOPC menganggap Delegated Act sebagai kompromi politik Uni Eropa, untuk mengisolasi dan menyingkirkan minyak sawit dari sektor energi terbarukan, dengan tujuan untuk menguntungkan minyak rapa produksi Uni Eropa dan minyak nabati terbarukan lain yang kurang kompetitif
Untuk melawan diskriminasi terhadap sawit, Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN-Uni Eropa ke-22 di Brussel pada Januari lalu, terus menyuarakan protes.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menegaskan bahwa minyak sawit berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sebagai komoditas strategis, sawit menjadi andalan sumber nafkah bagi sekitar 20 juta orang di Asia Tenggara, termasuk lima juta petani kecil di Indonesia.
“Jadi Indonesia sangat terbuka untuk bicara tetapi ya sekali lagi pada saat kemudian diperlakukan secara diskriminatif pasti kita akan berdiri,” tutur Menlu Retno.
Sementara itu, Menlu Latvia menekankan kepentingan hubungan yang adil dan seimbang antara kedua negara.
“Kita semua tertarik untuk menangani isu perubahan iklim, tetapi kita juga memahami diperlukannya kerja lanjutan antara Uni Eropa dan ASEAN terhadap sejumlah isu, termasuk mengenai ekspor minyak sawit,” tutur Menlu Rinkēvičs.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019
Tags: