Rizal Ramli dikonfirmasi misrepresentasi aset kasus Sjamsul Nursalim
19 Juli 2019 13:58 WIB
Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menjawab pertanyaan wartawan usai memenuhi panggilan KPK sebagai saksi terkait kasus BLBI di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/7/2019). Mantan Menko Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) era Kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu dipanggil KPK terkait kapasitasnya sebagai Ketua KKSK periode 2000-2001. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/pri
Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli mengaku dikonformasi soal misrepresentasi aset terkait kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim (SJN).
"Pada dasarnya menyangkut misrepresentasi dari aset-aset yang disahkan. Jadi, seperti diketahui pada saat krisis, krisis itu dipicu karena swasta-swasta Indonesia pada waktu itu utangnya banyak sekali," kata Rizal usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat.
KPK pada Jumat memeriksa Rizal sebagai saksi untuk tersangka Sjamsul dalam penyidikan kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Lebih lanjut, Rizal menyinggung aturan baru oleh pemerintah saat itu yang memperbolehkan pelunasan pinjaman BLBI tersebut membayar dengan aset tidak dengan membayar tunai.
"Esensinya utang ini harusnya tunai bayarnya tunai tetapi pada masa pemerintahan Pak Habibie, Menteri Keuangan Bambang Subianto sama Ketua BPPN waktu itu Glenn Yusuf dilobi supaya tidak usah bayar tunai, tetapi bayar aset," ungkap Rizal.
Ia pun menyatakan jika pengusahanya benar maka dia akan menyerahkan aset-asetnya yang tidak bermasalah saat itu.
"Nah kalau pengusahanya benar, dia serahkan aset yang bagus-bagus tetapi ada juga yang bandel dibilang aset ini bagus padahal belum, aset 'busuk' atau 'setengah busuk' atau belum clean and clear. Misalnya, tanah surat-suratnya belum jelas dimasukkan sebagai aset," ujar Rizal.
Ia mengatakan jika seandainya pemerintah saat itu tetap menganggap utang terkait BLBI tersebut harus dibayar lunas tidak dengan aset maka tidak akan muncul masalah seperti yang terjadi saat ini.
"Seandainya pada waktu itu tetap BLBI ini dianggap sebagai utang tunai, pemerintah Indonesia malah selamat karena utang tunai harus dibayar terus plus bunga tetapi karena dibayar dengan aset, bisa masalah seperti sekarang. Ini perlu dijelaskan karena kalau terjadi nanti krisis ekonomi lain di Indonesia, kita jangan mengulangi kesalahan yang sama," tuturnya.
Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali BDNI bersama istrinya Itjih Nursalim merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN.
KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Pada dasarnya menyangkut misrepresentasi dari aset-aset yang disahkan. Jadi, seperti diketahui pada saat krisis, krisis itu dipicu karena swasta-swasta Indonesia pada waktu itu utangnya banyak sekali," kata Rizal usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat.
KPK pada Jumat memeriksa Rizal sebagai saksi untuk tersangka Sjamsul dalam penyidikan kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Lebih lanjut, Rizal menyinggung aturan baru oleh pemerintah saat itu yang memperbolehkan pelunasan pinjaman BLBI tersebut membayar dengan aset tidak dengan membayar tunai.
"Esensinya utang ini harusnya tunai bayarnya tunai tetapi pada masa pemerintahan Pak Habibie, Menteri Keuangan Bambang Subianto sama Ketua BPPN waktu itu Glenn Yusuf dilobi supaya tidak usah bayar tunai, tetapi bayar aset," ungkap Rizal.
Ia pun menyatakan jika pengusahanya benar maka dia akan menyerahkan aset-asetnya yang tidak bermasalah saat itu.
"Nah kalau pengusahanya benar, dia serahkan aset yang bagus-bagus tetapi ada juga yang bandel dibilang aset ini bagus padahal belum, aset 'busuk' atau 'setengah busuk' atau belum clean and clear. Misalnya, tanah surat-suratnya belum jelas dimasukkan sebagai aset," ujar Rizal.
Ia mengatakan jika seandainya pemerintah saat itu tetap menganggap utang terkait BLBI tersebut harus dibayar lunas tidak dengan aset maka tidak akan muncul masalah seperti yang terjadi saat ini.
"Seandainya pada waktu itu tetap BLBI ini dianggap sebagai utang tunai, pemerintah Indonesia malah selamat karena utang tunai harus dibayar terus plus bunga tetapi karena dibayar dengan aset, bisa masalah seperti sekarang. Ini perlu dijelaskan karena kalau terjadi nanti krisis ekonomi lain di Indonesia, kita jangan mengulangi kesalahan yang sama," tuturnya.
Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali BDNI bersama istrinya Itjih Nursalim merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN.
KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: