Jakarta (ANTARA) - Suara dari televisi tabung berukuran 14 inci menyalak keras di satu pondok sederhana di tepian kali. Televisi itu menampilkan dua sosok lelaki bertubuh kekar, tengah beradu strategi untuk saling menjatuhkan. Meski hanya siaran ulang berupa kumpulan pertarungan tinju terbaik sepanjang masa dan sudah pernah disaksikan sebelumnya, Yadi (55) tetap bergeming dari layar televisi.
“Sejak ada televisi di gubuk ini, saya tidak merasa bosan saat bekerja di siang hari. Lumayan ada hiburan,” kata Yadi sambil menggoyangkan posisi antena televisi agar mendapatkan hasil gambar terbaik.
Yadi adalah salah seorang warga RT001/01 Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang aktif mengelola tanah pertanian di Kanal Banjir Barat Sungai Ciliwung. Ia secara rutin menjaga kebun dari pukul 10 pagi hingga 4 sore. Tugasnya adalah menghalau segala jenis hama yang mengancam panen.
“Di sini 'hama'-nya bukan binatang melainkan anak-anak. Banyak anak yang berlarian, bermain layang-layang atau penasaran sekadar ingin melihat-lihat kebun, sehingga kadang merusak tanaman,” katanya.
Salah satu "gangguan" yang masih membekas di ingatan Yadi adalah pada Mei silam, ketika kondisi ibu kota sedang ricuh akibat tensi politik yang memanas. Sore itu, ia dan rekan-rekannya sedang santai memantau ladang ketika dikejutkan dengan kehadiran satu helikopter yang terbang rendah di atas Sungai Ciliwung.
"Helikopter itu dekat sekali, mengeluarkan tali panjang dengan wadah kantong di bagian ujungnya, lalu mengambil air di kali. Mungkin tujuannya untuk membubarkan massa yang sedang melakukan aksi tidak jauh dari ladang kami. Namun, terjangan angin dari helikopter itu telah merusak tanaman-tanaman sayur kami," keluh Yadi yang merasa hampa karena tidak tahu harus ke mana untuk mengadu.
Meski begitu, Yadi dan rekan-rekannya tetap tabah menekuni kegiatan berladang. Sejak lima tahun silam, lahan yang tadinya berupa semak belukar penuh tanaman liar, disulap menjadi ladang cabai, gambas, kopra, sawi, timun suri, terong, dan anggur.
Tidak tanggung-tanggung, ladang sederhana KBB pernah menghasilkan panen cabai hingga dua ton pada 2017 lalu. Awal Mei tahun ini, para petani kota BKB sukses memanen 25 kilogram kacang panjang setelah melewati masa tanam selama 45 hari. Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta, Darjamuni, menyambut baik setiap partisipasi aktif masyarakat ibu kota dalam memanfaatkan lahan kosong dengan penghijauan. Apalagi, menurut Darjamuni, lahan di tepian sungai memang terpantau subur untuk jenis tanaman sayuran.
"Kami selalu memantau perkembangan para petani di sisi sungai. Memang lahannya cukup bagus untuk menanam kangkung dan lainnya. Namun, dikhawatirkan ada kandungan-kandungan logam berat. Solusinya mungkin para petani kota di pinggir kali bisa menghasilkan tanaman yang bukan untuk dikonsumsi," jelas Darjamuni.
Menurut Darjamuni, petani kota di Banjir Kanal Barat dan TImur dapat menanam jenis tanaman hias yang juga memiliki nilai jual di pasaran. "Bunga-bunga hiasan bisa langsung dijual di pasar lokal seperti Pasar Rawabelong," katanya.
Berharap berkah
Ladang cabai, gambas, sawi, dan lain-lain, tentu tidak muncul begitu saja dari dalam tanah atau turun dari awan. Penggagas perladangan KBB Kali Ciliwung adalah Andiya, lelaki kelahiran Cirebon, 49 tahun lalu.
“Dulu, banyak sekali limbah rumah tangga di tepian sungai. Waktu itu saya berpikir, kira-kira apa yang akan membuat orang-orang enggan membuang sampah ke sungai? Saya dapat ide untuk membersihkan dan menanam apapun yang bisa tumbuh di pinggir sungai,” kata Andiya.
Selama satu bulan, Andiya dan beberapa orang tetangganya secara swadaya membersihkan tepian sungai dari sampah dan tanaman liar. Bermodalkan peralatan seadanya, lahan yang tadinya tidak produktif pun berubah menjadi kebun gambas, cabai, sawi, dan terong yang dipanen secara bergantian.
Hingga kini, Andiya dan delapan orang warga setempat secara telaten merawat ladang seluas lebih dari tiga ribu meter persegi dan menanaminya dengan berbagai sayuran. Biasanya, Andiya menjual hasil bumi ke warga sekitar, Pasar Tanah Abang Blok G, Pasar Inpres Sabeni, dan Pasar Pintu Air Petamburan.
“Kacang panjang yang baru kami panen kemarin, dijual Rp7.000-Rp10.000 per kilogram. Setiap keuntungan yang kami peroleh dibagi sesuai tugas setiap orang, sisanya untuk merawat lahan dan membayar listrik di gubuk,” ujarnya.
Andiya melanjutkan, dulu ia dan rekan-rekan petaninya bekerja serabutan sebagai buruh kasar di pasar atau proyek pembangunan gedung. Kini, pendapatan yang diperoleh dari hasil bercocok tanam dapat dimanfaatkan untuk modal usaha.
“Misalnya, saat panen saya mendapatkan uang Rp500.000, maka saya bisa putar uang itu untuk tambahan modal warung, berjualan mie, atau apa saja asal halal,” katanya.
Bagi Andiya, keuntungan dari berkebun di tepi sungai mungkin tidak seberapa besar dan sangat kurang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi menurutnya, ada kepuasan batin ketika memberikan hasil panen kepada yang membutuhkan secara cuma-cuma.
“Kami selalu mengatur waktu tanam agar bisa memanen timun suri ketika bulan Ramadhan. Saat panen, kami bagikan timun suri kepada masyarakat yang memanfaatkannya untuk sajian berbuka puasa. Alhamdulillah masih bisa beramal,” Andiya memungkasi kalimatnya.
Bagi Andiya dan para petani kota di BKB Kali Ciliwung, ada banyak hal yang tidak dapat diukur dengan materi. Ia percaya kekuatan doa-doa tulus dari orang-orang yang terbantu dari kegiatan di ladang pertaniannya. Andiya dan petani lainnya berpedoman dalam setiap tindakan untuk tidak sekadar memanen hasil dari bumi tetapi juga mengharap berkah dari langit.
Artikel
Menyemai kebaikan di pinggiran ibu kota
Oleh Adnan Nanda
19 Juli 2019 12:10 WIB
Siluet Andiya, petani kota yang memanfaatkan lahan kosong dengan menanam aneka sayuran di tepi Kanal Banjir Barat Sungai Ciliwung, Tanah Abang, Jakarta Pusat (18/7/2019). (ANTARA/Adnan Nanda)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Tags: