Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika menilai pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) cocok di daerah urban perkotaan melihat konsistensi produksi sampah yang dihasilkan daerah tersebut.
"Pembangkit listrik tenaga sampah potensinya tentu saja besar, terutama kalau dipasang di daerah urban perkotaan, supaya sampahnya konsisten diproduksi," ujar Haryadin saat dihubungi di Antara di Jakarta, Kamis.
Perkembangan pembangkit listrik terbarukan, menurut Haryadin, melambat karena PLN belum siap menerima tambahan suplai listrik dan terlanjur membangun lebih banyak pembangkit listrik.
"Perlu ada satu sistem yang memungkinkan konsumen baik rumah tangga maupun industri bisa memilih dari mana sumber listrik," kata dia.
Baca juga: Empat daerah siap dirikan pembangkit listrik tenaga sampah tahun ini
Sistem PLTSa, menurut Haryadin, telah diterapkan di beberapa negara, salah satunya Australia.
Meski harga listrik dari energi terbarukan akan cenderung lebih mahal, Haryadin meyakini masyarakat akan tetap berminat menggunakannya listrik ramah lingkungan jika disosialisasikan dengan baik.
Pemerintah, pada Selasa (16/7), telah mengumumkan empat daerah yang siap mendirikan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), dan akan menyelesaikan proyek tersebut pada 2019.
Empat daerah yang akan menyelesaikan PLTSa adalah Surabaya, Bekasi, Solo dan DKI Jakarta.
Selain empat daerah tersebut, delapan kota/kabupaten lain juga telah mengusulkan pembangunan PLTSa, salah satunya Bali. Bali dan tujuh daerah lainnya akan diminta membuat prototipe PLTSa.
Presiden Joko Widodo telah mendatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 12 April 2018.
Baca juga: BPPT upayakan pengembangan PLTSA ramah lingkungan
Pengamat: Pembangkit listrik tenaga sampah cocok di perkotaan
18 Juli 2019 17:33 WIB
Ekonom Harryadin Mahardika (ANTARA/Aji Cakti)
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: