New York (ANTARA) - Harga minyak merosot sekitar satu persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), di tengah tanda-tanda bahwa dampak badai tropis terhadap produksi dan pemurnian di Gulf Coast AS akan berumur pendek, sementara data ekonomi China meredupkan prospek permintaan minyak mentah.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus turun 0,63 dolar AS atau 1,1 persen menjadi menetap pada 59,58 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, sementara minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September turun 0,24 dolar AS menjadi ditutup pada 66,48 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Kedua kontrak pekan lalu membuat keuntungan mingguan terbesar mereka dalam tiga minggu terakhir, akibat pemotongan persediaan minyak AS dan ketegangan diplomatik di Timur Tengah.
"Harga minyak mentah melemah karena perusahaan-perusahaan minyak mengembalikan pekerja mereka ke anjungan lepas pantai setelah dampak (badai) mereda," kata Edward Moya, analis senior di OANDA di New York, dilansir Reuters.
"Tanpa kerusakan besar yang terjadi, produksi minyak akan mulai kembali mengalir dan kita bisa melihat harga minyak mentah mengurangi beberapa kenaikan pekan lalu."
Satu kilang di Gulf Coast AS memulai kembali operasinya setelah ditutup di bawah ancaman Badai Tropis Barry, sementara kilang-kilang lain di jalur badai terus beroperasi.
Produsen minyak lepas pantai AS memulai kembali 4,0 persen dari produksi yang ditutup akibat Barry minggu lalu, menurut sebuah laporan pada Senin (15/7/2019) oleh Biro Keselamatan dan Penegakan Lingkungan AS (BSEE).
Perusahaan-perusahaan energi telah memangkas produksi minyak mentah di Teluk Meksiko AS sebesar 73 persen atau 1,4 juta barel per hari.
Data China menunjukkan output industri dan data ritel mengalahkan ekspektasi, tetapi angka secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulanan paling lambat di negara itu dalam beberapa dekade.
Throughput (banyaknya produksi) minyak China naik ke rekor 13,07 juta barel per hari pada Juni, meningkat 7,7 persen dari tahun sebelumnya, menyusul dimulainya dua kilang besar baru, data resmi menunjukkan.
Namun, pertumbuhan ekonomi hanya 6,2 persen pada kuartal kedua 2019 -- yang terlemah dalam 27 tahun -- menyoroti dampak dari ketegangan perdagangan dengan Washington serta meningkatkan kemungkinan bahwa lebih banyak insentif mungkin diperlukan untuk merangsang ekonomi.
"Pesan dasarnya adalah bahwa paruh kedua tahun ini akan melihat penurunan persediaan minyak global tetapi ini akan diikuti oleh tahun 2020 yang suram, terutama enam bulan pertama tahun depan," kata analis PVM Tamas Varga.
Meredanya ketegangan antara Barat dan Timur Tengah juga menekan minyak berjangka.
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi pada Minggu (14/7/2019) bahwa Iran siap untuk mengadakan pembicaraan dengan Amerika Serikat jika Washington mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan nuklir 2015 yang telah dihentikan tahun lalu.
"Kami selalu siap untuk negosiasi. Saya katakan pada Anda saat ini dan saat ini untuk meninggalkan intimidasi dan mencabut sanksi dan kembali ke logika dan kebijaksanaan. Kami siap," kata Kantor Berita Mehr Iran mengutip Rouhani.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan masih ada "jendela kecil" waktu untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran, ketika Teheran mengisyaratkan akan meningkatkan program nuklirnya.
Baca juga: Harga minyak sedikit melemah di Asia jelang rilis data ekonomi China
Baca juga: Emas berjangka naik tipis tertahan penguatan dolar AS
Baca juga: Dolar AS menguat di tengah penurunan sterling Inggris
Harga minyak merosot, jenis WTI jadi di bawah 60 dolar
16 Juli 2019 06:35 WIB
Illustrasi. Pengeboran eksplorasi PT Pertamina Hulu Energi Siak di Kotalama-3. (ANTARA)
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: