Jakarta (ANTARA) - Mantan pegawai honorer SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril Maknun menyerahkan sejumlah surat dukungan kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengenai permohonan amenestinya.

"Saya pagi ini menerima Ibu Baiq Nuril, kedua menerima dari komunitas yang menjaring berbagai dukungan masyarakat yaitu 'Amnesti untuk Nuril' jumlahnya 300 ribu petisi dan ada 1000 surat yang diberikan langsung," kata Moeldoko di gedung KSP Jakarta, Senin.

Moeldoko menerima Baiq Nuril didampingi Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani, sedangkan Baiq Nuril didampingi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Rieke Diah Pitaloka dan pengacara Baiq Nuril, Widodo Dwi Putro.

"Bentuk dukungan ini adalah dukungan konkrit bahwa keinginan Presiden memberikan amnesti betul-betul luar biasa, ini persoalan kemanusiaan yang perlu jadi perhatian kita semua, apa yang saya terima hari ini dan saya yakin apa yang kita inginkan bersama mudah-mudahan bisa berjalan dengan baik," tambah Moeldoko.

Baiq Nuril adalah seorang staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram yang berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMU 7 Mataram Haji Muslim. Perbuatan Baiq dinilai membuat keluarga besar Haji Muslim malu.

Saat Baiq Nuril mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019 namun PK itu juga ditolak.

Dengan ditolaknya permohonan PK pemohon atas Baiq Nuril tersebut, maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku. Baiq Nuril dan pengacaranya pun lalu memohonkan amnesti dari Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Presiden belum terima berkas terkait permohonan amnesti Baiq Nuril

Presiden dapat memberikan amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Hukum dan HAM.

Kementerian Hukum dan HAM juga sudah memberikan surat rekomendasi amnesti atas kasus hukum yang saat ini menjerat Baiq Nuril.

"Secepatnya bila rekomendasi sudah dikirim sehingga (Presiden) dapat mengirim surat ke DPR bisa segera dan bisa dimintai pertimbangannya," ungkap Moeldoko.

Namun Moeldoko mengaku belum melihat surat rekomendasi dari Menkumham terkait amnesti tersebut.

"Kemarin saya pikir surat sudah diterima dari Pak Menkumham sudah memerkuat," tambah Moeldoko.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid Usman Hamid mengatakan bahwa dukungan itu diberikan kepada Presiden Joko Widodo atas pertimbangan keadilan dan pertimbangan kemanusiaan.

"Secara hukum internasional, amnesti hanya bisa diberikan kepada kejahatan-kejahatan ringan, dan tidak boleh pada kejahatan yang serius dengan demikian secara hukum kasus ibu Baiq Nuril sangat dimungkinkan untuk diberikan amnesti," ungkap Moeldoko.

Tindakan pemberian amnesti sudah tepat dan bukan grasi karena grasi mensyaratkan hukuman di atas 2 tahun penjara hingga seumur hidup ataupun hukuman mati.

"Karena itulah sebenernya tidak ada kendala hukum, tidak ada kendala konstitusi, bahkan tidak ada pertentangannya dengan hukum internasional bagi presiden RI untuk menggunakan kewenangan Pasal 14 ayat 2 di dalam UUD 1945 utk memberikan amnesti kepada ibu Baiq Nuril," tambah Moeldoko.

Baca juga: Baiq: "semoga amnesti diberikan saat putri saya kibarkan Merah Putih"

Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.

Amnesti diatur dalam padal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Majelis hakim sidang PK menilai kasus yang menjerat Baiq, yaitu mentransmisikan konten asusila sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), memang terjadi.

Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bertugas di SMAN 7 Mataram dan kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim.

Muslim sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.

Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, ia merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Muslim melaporkannya ke penegak hukum.

Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyatakan ia tidak terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.

Dalam persidangan, Majelis Hakim PN Mataram bahkan menyatakan bahwa unsur "tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana/atau dokumen elektronik" tidak terbukti sebab bukan ia yang melakukan penyebaran tersebut, melainkan pihak lain.

Baca juga: Kantor Kepresidenan akan proses surat pengajuan amnesti Baiq Nuril