MPR penengah sengketa kewenangan lembaga negara didukung
13 Juli 2019 23:13 WIB
Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma'ruf Cahyono menjadi salah satu anggota dewan penguji dalam ujian promosi doktor (ujian terbuka) Abdul Kholik, di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Sabtu (13/7). (Biro Humas MPR RI)
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma'ruf Cahyono mendukung ide agar MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yaitu menjadi mediator dan fasilitator, namun perlu disesuaikan tidak seperti yang ada dalam penyelesaian sengketa kasus yang lain.
"Hasil penelitian untuk disertasi itu merekomendasikan MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, MPR menjadi mediator dan fasilitator. Namun desain ini akan disesuaikan tidak seperti yang ada dalam penyelesaian sengketa kasus yang lain," kata Ma'ruf dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan Ma'ruf itu dikatakannya setelah menjadi salah satu anggota dewan penguji dalam ujian promosi doktor (ujian terbuka) Abdul Kholik, di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Sabtu (13/7).
Salah satu pokok pembahasan adalah memfungsikan lembaga negara MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Ma'ruf mengakui penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Namun setelah diteliti Abdul Kholik ternyata penyelesaian oleh MK tidak efektif. Karena itu dicari jalan penyelesaian yang lain, yaitu melalui non judicial," kata Ma'ruf.
Menurut dia, dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara melalui jalur non-judicial, MPR sebagai penengah sebelum menempuh penyelesaian sengketa kewenangan melalui yudisial di MK.
Dia menilai, penyelesaian di MPR adalah dengan model dialogis dan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Karena itu menurut Ma'ruf, MPR perlu diposisikan sebagai lembaga negara yang lebih tinggi dibanding lembaga negara yang lain sehingga produk MPR dipatuhi lembaga negara lain.
"Jika timbul persoalan pada saat semua lembaga memiliki kewenangan yang sejajar maka sulit untuk diselesaikan," katanya.
Ma'ruf berharap hasil penelitian disertasi Abdul Kholik ini menjadi masukan bagi MPR terkait sengketa kewenangan antara DPR dan DPD.
Dia mengatakan, saat ini MPR membuka ruang untuk menerima masukan, aspirasi dan pikiran-pikiran.
"Bagi MPR pikiran dalam disertasi ini bisa menjadi bahan untuk ditelaah lebih lanjut. Menjadi rujukan bagi Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian di MPR," katanya.
Abdul Kholik mengatakan, dirinya mendorong MPR mengambil peran penyelesaian sengketa antar lembaga negara sehingga kalau ada sengketa antar lembaga negara maka dibahas di MPR.
Menurut dia, MPR bisa menjadi penengah dalam sengketa kewenangan lembaga negara karena beberapa hal, pertama, MPR memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibanding lembaga negara lain, yaitu menetapkan dan mengubah UUD, melantik serta memberhentikan presiden.
"Tupoksi MPR sesuai atau pas sebagai penengah sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa antar lembaga negara bisa dibahas di MPR," katanya.
Dia menilai setelah tercapai kesepakatan atau solusi dari sengketa itu, baru kemudian diselesaikan secara hukum atau menjadi rujukan dalam pembuatan undang-undang.
"Hasil penelitian untuk disertasi itu merekomendasikan MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, MPR menjadi mediator dan fasilitator. Namun desain ini akan disesuaikan tidak seperti yang ada dalam penyelesaian sengketa kasus yang lain," kata Ma'ruf dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan Ma'ruf itu dikatakannya setelah menjadi salah satu anggota dewan penguji dalam ujian promosi doktor (ujian terbuka) Abdul Kholik, di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Sabtu (13/7).
Salah satu pokok pembahasan adalah memfungsikan lembaga negara MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Ma'ruf mengakui penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Namun setelah diteliti Abdul Kholik ternyata penyelesaian oleh MK tidak efektif. Karena itu dicari jalan penyelesaian yang lain, yaitu melalui non judicial," kata Ma'ruf.
Menurut dia, dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara melalui jalur non-judicial, MPR sebagai penengah sebelum menempuh penyelesaian sengketa kewenangan melalui yudisial di MK.
Dia menilai, penyelesaian di MPR adalah dengan model dialogis dan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Karena itu menurut Ma'ruf, MPR perlu diposisikan sebagai lembaga negara yang lebih tinggi dibanding lembaga negara yang lain sehingga produk MPR dipatuhi lembaga negara lain.
"Jika timbul persoalan pada saat semua lembaga memiliki kewenangan yang sejajar maka sulit untuk diselesaikan," katanya.
Ma'ruf berharap hasil penelitian disertasi Abdul Kholik ini menjadi masukan bagi MPR terkait sengketa kewenangan antara DPR dan DPD.
Dia mengatakan, saat ini MPR membuka ruang untuk menerima masukan, aspirasi dan pikiran-pikiran.
"Bagi MPR pikiran dalam disertasi ini bisa menjadi bahan untuk ditelaah lebih lanjut. Menjadi rujukan bagi Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian di MPR," katanya.
Abdul Kholik mengatakan, dirinya mendorong MPR mengambil peran penyelesaian sengketa antar lembaga negara sehingga kalau ada sengketa antar lembaga negara maka dibahas di MPR.
Menurut dia, MPR bisa menjadi penengah dalam sengketa kewenangan lembaga negara karena beberapa hal, pertama, MPR memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibanding lembaga negara lain, yaitu menetapkan dan mengubah UUD, melantik serta memberhentikan presiden.
"Tupoksi MPR sesuai atau pas sebagai penengah sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa antar lembaga negara bisa dibahas di MPR," katanya.
Dia menilai setelah tercapai kesepakatan atau solusi dari sengketa itu, baru kemudian diselesaikan secara hukum atau menjadi rujukan dalam pembuatan undang-undang.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: